Berita Blitar
Kisah Hariyadi, 20 Tahun Tekuni Profesi Pandai Besi di Kota Blitar, Pesanan Hingga China
Hariyadi: Pandai besi sudah ada sejak zaman dulu. Ini merupakan kebudayaan nenek moyang yang harus dilestarikan
Penulis: Samsul Hadi | Editor: Cak Sur
"Setelah itu finishing, mulai proses pembuatan gagang, sarung dan penajaman," ujarnya.
Hariyadi menekuni profesi pandai besi sudah hampir 20 tahun. Sejak remaja, dia memang hobi mengolah logam.
Awalnya, dia membuat pisau untuk digunakan sendiri. Lambat laun, ada teman yang tertarik memesan pisau buatannya.
Dari situ, dia akhirnya terjun menjadi pandai besi sampai sekarang.
"Tapi, kakek buyut saya dulunya juga empu (tukang membuat keris)," katanya.
Dikatakannya, di era kemajuan teknologi, profesi pandai besi memang mulai langka karena kalah dengan perkakas pabrikan.
Tetapi, usaha pandai besi milik Hariyadi sampai sekarang tetap stabil.
Tiap bulan, dia selalu mendapat pesanan dari pelanggan. Hanya saja, jumlah pesanan memang turun dibandingkan sebelumnya.
"Kalau dulu tiap bulan bisa dapat 10 pesanan, sekarang tinggal lima. Tapi, pesanan selalu ada," ujarnya.
Hariyadi memang memproduksi perkakas sesuai pesanan. Kebanyakan, dia menerima pesanan senjata tajam untuk suvenir seperti katana, pedang, golok, dan pisau tradisional.
Pesanan juga datang dari luar daerah seperti Jakarta, Bandung, Bali, Kalimantan, dan Sumatra. Bahkan, dia juga pernah menerima pesanan pedang dari China dan Malaysia.
"Pesanan parang atau pisau untuk keperluan perkebunan maupun jagal sapi juga tetap saya layani. Kalau pesanan perkakas pertanian seperti cangkul biasanya saya lempar ke pandai besi lain," katanya.
Untuk bahan baku, Hariyadi mengaku tidak ada kesulitan. Tapi, belakangan ini harga besi terus naik. Kenaikannya sekitar 70 persen.
Dia memanfaatkan besi atau baja bekas onderdil kendaraan bermotor untuk membuat perkakas senjata tajam.
"Bahan bakunya saya cari di loakan (barang bekas). Sekarang harganya terus naik," katanya.