Hikmah Ramadan 2021

Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Jatim, Haqqul Yaqin: Puasa Momen Transendensi Humanisme Islam

Dengan tegas dinyatakan dalam QS. 51:56 bahwa tujuan penciptaan manusia untuk senantiasa beribadah dan melaksanakan perintah-perintah Allah.

Editor: Parmin
Foto: mui jatim
Haqqul Yaqin, Anggota Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya. 

Selanjutnya terjadi proses dialektis ketika kesadaran manusia menjadi kesadaran diri tentang Yang Absolut dan ketika Yang Absolut mewujud dalam kesadaran manusia.

Kesadaran ilahiah manusia yang menggambarkan kenyataan historisnya merupakan replika pengalaman manusia yang
muncul dari keseluruhan beban nalar praktis dan teoritis keagamaannya.

Di sinilah moderasi pemahaman keagamaan memiliki peran signifikan mengingat adanya kemungkinan kecenderungan manusia mengadopsi ke dalam dirinya (introject) suatu proyeksi keagamaan yang diambil dari personalitas orang lain.

Puasa yang menghasilkan ketakwaan, dan ketakwaan yang mentransformasi seseorang menjadi manusia paripurna memiliki keunggulan dalam memegang prinsip-prinsip penegakan kebenaran, kebajikan, dan keindahan.

Sehingga gambaran cita ideal yang dicerminkan dalam perannya sebagai khalifah merupakan gabungan antara sifat-sifat
tersebut.

Manusia dengan cita ideal ini adalah manusia yang selalu tercerahkan dengan pola keimanan yang membuka diri dan humanis.

Secara aktual, hikmah puasa dapat diarahkan pada sebuah kategori intelektual yang mampu menggagas sistem keimanan yang tidak mengasingkan kebutuhan-kebutuhan manusia.

Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan secara logis bahwa agama dapat diselaraskan dengan landasan rasional. al-Din ‘aqlun la dina liman la ‘aqla lahu.

Tentu pemahaman ini harus diarahkan pada upaya melakukan purifikasi terhadap suatu pandangan yang disisipi elemen-elemen primitif dan barbar.

Dengan demikian masih ada pengakuan akan sublimasi ajaran agama yang tidak hanya berhenti pada konsep-konsep absolut, tetapi masih meyakini akan peran penting kontekstualisasinya.

Selanjutnya, endapan ilusi yang membius kesadaran kebergamaan harus ditempatkan kembali pada posisinya yang fitrah. Kesadaran yang memberikan peluang sebesar - besarnya untuk melakukan ta’amul dan tadabbur sehingga mampu melahirkan aktualitas-aktualitas yang bertolak dari pemahaman ketakwaan yang hakiki.

Di sinilah makna puasa menemukan momentumnya untuk melakukan kontrol (imsak). Imsak mengandaikan keseimbangan (al-tawazun) antara persepsi lahir dan persepsi batin, dunia dan akhirat.

Demikian pula, dengan imsak melarang perilaku yang ekstrem yang jelas-jelas membawa dampak negatif (QS. 28:77). Pemahaman ini tidak berarti bahwa hidup di dunia semata-mata mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, atau menolak begitu saja, melainkan memilih sisi yang lebih memberikan manfaat, tidak memberikan penyesalan di kemudian
hari, serta selamat dari ancaman siksa kelak di akhirat (al-Qusyairi).

Pemahaman keagamaan yang ekstrem selalu mengusung otoritas dan monopoli kebenaran. Argumentasinya dibangun di atas klaim kebenaran dengan cara menggeser kelompok lain yang dianggap berbeda dan bertentangan. Maka di tengah kehidupan global yang semakin kompleks dan plural, eksistensi agama semakin ditantang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan tersebut.

Dari sini spirit bulan suci Ramadhan harus terus digemakan sebagai bagian dari upaya menjawab dan menunjukkan kiprah dan peran agama pada bentuk hubungan sosial yang semakin dewasa. Kalau kenyataan ini yang terjadi, maka keinginan menjadikan agama sebagai landasan etis dalam mengatasi problem kemanusiaan kontemporer bukanlah suatu utopia belaka.

Bertolak dari keinginan menjalankan ibadah puasa dengan benar dan khusyuk kita mencoba memposisikan eksistensi kita pada pusat edar subjektivitas jagad raya yang ditransendensikan sepenuhnya pada kesadaran spiritual Ilahiyah. Ide ini menekankan dan menghargai nilai-nilai luhur humanisme-universal yang concern pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan dengan mengandalkan pada penyatuan tadzakkur dan tafakkur.

Harapannya, keseimbangan unik yang terjadi karena aksi-aksi moral yang terintegrasi inilah puasa kita dapat mencapai nilai ketakwaan yang sebenar-benarnya takwa. Allah a’lam. (*)

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved