Hikmah Ramadan 2021
Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Jatim, Haqqul Yaqin: Puasa Momen Transendensi Humanisme Islam
Dengan tegas dinyatakan dalam QS. 51:56 bahwa tujuan penciptaan manusia untuk senantiasa beribadah dan melaksanakan perintah-perintah Allah.
Dalam konteks ini, takwa diartikan sebagai resistensi melawan tensi-tensi moral untuk tetap berada dalam batas-batas yang ditetapkan oleh agama.
Transendensi Nilai Kemanusiaan
Dengan tegas dinyatakan dalam QS. 51:56 bahwa tujuan penciptaan manusia untuk senantiasa beribadah dan melaksanakan perintah-perintah Allah. Penegakan ibadah dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan manusia, bukan kepentingan Allah.
Kebajikan yang dilakukan oleh manusia adalah untuk kemaslahatan dirinya, begitu pula, setiap tindakan kejahatan akan merugikan diri dan orang lain. Oleh karena itu manusia tidak boleh dibiarkan menyendiri dalam hasrat-hasrat subjektifitasnya.
Manusia harus senantiasa diajak melakukan kebajikan agar mampu melepaskan diri dari kecenderungan
memberikan penilaian yang salah terhadap kualitas dan validitas suatu amal perbuatan.
Setiap amal kebaikan yang dilakukan manusia, dengan demikian, sejatinya untuk menciptakan dan mewujudkan kehidupan manusia yang aman dan nyaman.
Determinasi ibadah sekaligus ekspresi nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu setiap pelaksanaan ibadah
tentunya akan mengarah pada upaya mewujudkan cita-cita ideal tersebut.
Namun begitu, tidak diingkari bahwa dalam praktiknya, sebagaimana diingatkan Allah dalam QS. 18:103-105, bahwa terdapat segolongan manusia yang menilai perbuatannya sebagai amal baik tapi di akhirat kelak tidak diganjar dengan pahala, bahkan tidak memiliki bobot apapun di hari pengadilan.
Fazlur Rahman (1996) menggambarkan orang-orang yang merugi tersebut dengan korban- korban penipuan diri. Mereka menjadi korban dari organisasi atau institusi tertentu yang tampak menyerukan kebaikan, tapi hakikinya membuat kerusakan dan kejahatan.
Imajinasi pemahaman keagamaan yang menistakan nilai-nilai kemanusian dan keadilan, apalagi dengan senagaja menghilangkan nyawa orang lain, substansinya merupakan wujud sikap aniaya (QS. 2:11-12).
Angan-angan mendapatkan surga Allah dengan menumbalkan jiwa dan hak hidup orang lain tak lebih sebagai tindakan lalim dan kejahatan yang nyata (QS. 4:123).
Sifat manusia sebagai makhluk yang lemah (QS. 4:28), cenderung secara kontinu melakukan kemaksiatan dan bertindak melampaui batas (QS. 75:5) selalu tergesa-geasa (QS. 21:37) dan senantiasa beralih dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya (QS. 10:12) mencerminkan terjadinya tensi moral yang luar biasa dalam hidup manusia.
Namun begitu, manusia pada dasarnya merupakan makhluk teomorfis. Artinya, di balik segala kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki, manusia masih menyimpan harta karun dalam dirinya, yaitu sifat-sifat ketuhanan. Masih ada sesuatu yang suci dalam diri manusia.
Fakta inilah yang memberikan harapan dan optimisme yang memungkinkan manusia meraih derajat yang lebih tinggi dari makhluk yang lain, termasuk malaikat sekalipun. Sebaliknya, pada saat yang sama manusia bisa menjadi seperti setan dan lebih hina dari binatang.
Manusia sebagai sosok makhluk yang diciptakan dalam kesempurnaan (QS. 95:4) telah dikaruniai suatu kualitas keutamaan dan diberi tugas menjadi wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi dengan mandat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan.