Biodata Ki Seno Nugroho, Dalang asal Bantul yang Meninggal Dunia, Pekerja Keras dan Idola Anak Muda
Kabar duka menyelimuti dunia seni khas Jawa, pewayangan. Ki Seno Nugroho, dalang asal Bantul, Yogyakarta, meninggal dunia. Ini profil dan biodatanya
Penulis: Arum Puspita | Editor: Iksan Fauzi
Penulis: Arum | Editor: Iksan Fauzi
SURYA.CO.ID - Kabar duka menyelimuti dunia seni khas Jawa, pewayangan.
Ki Seno Nugroho, dalang asal Bantul, Yogyakarta, meninggal dunia pada Selasa (3/11/2020) malam.
Dikutip Kompas (jaringan SURYA.co.id) Rabu (4/11/2020), kabar meninggalnya Ki Seno Nugroho dibenarkan oleh salah satu sindennya, Ayu Purwa Lestari.
Menurut sinden lainnya Oriza, Ki Seno masih bercanda di grup WhatsApp pada Selasa (3/11/2020) siang.
Siapakah sosok Ki Seno Nugroho?
Berikut biodata Ki Seno Nugroho dikutip dari Kompas 'Ki Seno Nugroho Meninggal Dunia, Simak Perjalanan Kariernya Selama Ini...'
Dalang Seno, sapaan akrab Ki Seno Nugroho, rupanya memiliki 'darah' danang dari keluarga.
Ayah, kakek, hingga kakek buyut Seno merupakan dalang.
Dalam sebuah video yang diunggah di Youtube Dalang Seno, ia menceritakan kehidupan masa kecil yang kerap wara-wiri ikut ayahnya mendalang.
Namun, diakui Seno, saat itu masih belum tertarik menjadi dalang.
Saat beranjak dewasa, tepatnya SMP, Seno diajak menonton Ki Mantep Sudarsono mendalang di Sasoho Hinggil Dwi Abad Yogyakarta.
"Dari situ saya melihat kepiawaian Pak Mantep mengolah wayang luar biasa. Sepulang pentas wayang itu saya terpacu, terpecut hati saya. Beliau pun bisa kenapa kita tidak bisa," katanya.
Dari kejadian itu, Ki Seno kemudian semangat belajar mendalang.
Belajar wayang dari Ki Mantep
Dalang yang menjadi idola Seno adalah Ki Mantep.
Seno lantas berusaha belajar cara mendalang Ki Mantep dengan datang ke setiap pentasnya di Jogja.
Meski acaranya berbayar, dia berusaha menyisihkan uang agar bisa datang.
Seno kemudian mulai bisa memainkan wayang dan memutuskan belajar di Sekolah Menegah Karawitan Indonesia jurusan pedalangan.
Ketika menginjak kelas 2, ayahnya jatuh sakit.
Pada waktu itu pamannya, Ki Supardi, menasehatinya, jika bukan Seno yang melanjutkan perjuangan ayahnya lalu siapa lagi.
Hal itu melecut semangatnya untuk mulai mendalang.
Akan tetapi, dia memiliki syarat, dia tak mau ayahnya melihat ketika dia mendalang.
Dua hal yang melatarbelakangi syarat tersebut, pertama karena malu dan kedua takut dimarahi apabila salah dalam mendalang.
Ki Seno pertama kali menjadi dalang di Mrican. Saat malam pamannya mendalang, siangnya giliran Seno.
Pada awalnya berjalan lancar, tapi ketika Seno menengok ke belakang melihat ayahnya memainkan salah satu alat musik, dia grogi dan pecah konsentrasinya. Ayahnya lalu keluar.
Malam harinya dia diajak ke Pekalongan. Selepas ayahnya mendalang di sana, uangnya digunakan untuk membeli jajan. Padahal jajanan yang dibeli adalah pantangan bagi ayahnya.
Ayahnya pun senang, lantaran sudah ada penerus.
Hal itu yang membuat apa pun permintaan Seno dikabulkan.
Perjuangan hidup Ki Seno
Sejak ayah Seno meninggal, ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kerja serabutan pun dilakoninya.
Perjuangan Seno saat itu tidaklah mudah.
Menurutnya, pahitnya masa lalu justru mengajarkan untuk hidup seperti saat ini.
Terlebih Seno selalu mendapat bimbingan senior-seniornya, terutama Ki Mantep.
Lantaran sering diajak manggung, meski belum punya nama.
Meskipun dia seorang dalang, Seno tidak pernah menolak ajakan kolaborasi dengan pegiat seni lainnya.
Menurutnya, sangat menyenangkan dan berkesan ketika bisa berkolaborasi dengan tokoh-tokoh seni terkenal lainnya.
Pada akhirnya, dia telah menjelajah berbagai negara karena kemampuannya mendalang. Korea, Argentina, Belanda, dan Belgia merupakan sejumlah negara yang pernah dikunjunginya.
Salah satu pengalaman mendalangnya yang berkesan adalah saat dia mengikuti Festival Wayang Dunia di Buenos Aires. KBRI Argentina yang mengundangnya.
"Harusnya saya pentas satu kali. Tapi karena luar biasa animo penonton sampai saya pentas tiga kali," ujarnya.
Tak cukup sampai di situ, penonton masih menginginkan satu pentas lagi, tapi tidak bisa dilakukan Seno karena harus segera bertolak ke Indonesia.
"Saya sampai menangis melihat penonton. Karena di negara yang tidak tahu wayang yang wayangnya hanya muppet boneka itu, kita pentas dengan wayang kulit itu, penontonnya kayak antre tiket film box office. Luar biasa," ungkapnya.
Idola milenial
Dalam bidang wayang, Seno sukses menggaet kalangan anak muda untuk menikmati wayang.
Dikutip Kompas.com, 13 Agustus 2019, dia menceritakan, kesuksesan menggaet anak muda yang rela duduk berjam-jam adalah karena dia mendalang dengan bahasa yang sederhana.
“Kami membuat (mementaskan) wayang itu diterima semua kalangan. Wayang identik dengan sastra atau bahasa yang sulit itu kita permudah saja," ujarnya.
Seno mengatakan, cerita wayang maupun tuntunan dalam cerita dibuat simpel. Intinya semua dipermudah saja.
Saat pementasan, Seno mengikuti keinginan penonton untuk lakon yang dimainkan.
Meski sebenarnya sudah sering dimainkan, ia tidak mempermasalahkan karena terpenting kepuasan penonton.
"Satu lagi menonjolkan tokoh Bagong yang disenangi anak muda itu. Dia saya buat paling ndugal, ketika berhadapan kepada raja paling terhormat. Kalau sudah bagong marah diunek-unekke (dimarahi). Gleleng ning sembodo (Nakal tetapi bisa membuktikan), anak muda kan seperti itu kan. Jiwanya masih jiwa panas," ucapnya.
Seno mengaku menggunakan sarana media sosial untuk menyiarkan pementasannya cukup efektif mengenalkan wayang kepada anak muda.
“Anak sekarang SD saja sudah pegang HP, buka-nya konten YouTube atau nonton film atau apa. Kita coba lewat situ (YouTube) ternyata dan ini luar biasa. Semalam itu minimal 10 ribu penonton. Untuk pertunjukan tradisional lho Mas, itu luar biasa. Tembus 20 ribu (penonton) di Magelang kemarin,” imbuhnya.
Dimakamkan bersama wayang

Sementara melansir dari Tribun Jogja 'Ini Profil Wayang Bagong Yang Ikut Dikubur Bersama Jenazah Dalang Ki Seno Nugroho'.
Pada prosesi pemakaman Ki Seno Nogroho, dua wayang kulit ikut dikuburkan bersamaan dengan jenazah Dalang milenial tersebut, yakni tokoh wayang bernama Bagong dan Bima, Rabu (4/11/2020).
Tokoh Bagong sendiri merupakan lakon yang paling sering dibawakan Ki Seno Nugroho di setiap pagelaran wayang kulit yang ia pentaskan.
Sementara itu, tokoh Bima menggambarkan diri sendiri yang bernama Seno atau nama lain dari wayang tersebut.
Kisah wayang Bagong dan Bima
Tokoh Bagong menjadi bagian dari keluarga Punakawan dalam cerita pewayangan Jawa.
Bagong sendiri digambarkan sebagai sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama.
Gaya bicara Bagong cenderung ceplas ceplos apa adanya, meskipun demikian orang lain tetap bisa memaklumi.
Bagong adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk.
Diceritakan dalam dunia pewayangan, bagaimana Bagong diciptakan pemilik Alam semesta.
Gareng dan Petruk meminta dicarikan teman, Sang pemilik Alam semesta bersabda, bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri.
Seketika itu bayangan keduanya berubah menjadi sesosok manusia dan selanjutnya diberi nama Bagong.
Secara fisik, Bagong digambarkan memiliki postur yang pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut nya lebih lebar.
Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan.
Di satu sisi, Bagong adalah sosok yang memiliki sifat jujur dan memiliki sejumlah kesaktian.
Bila disarikan hikmah yang dapat dipetik dari sosok Bagong adalah mencontohkan sikap jujur yang menjadi salah satu modal dalam hidup bermasyarakat. Namun disatu sisi, di manapun berada, harus menghormati aturan yang berlaku di tempat tersebut.
Beberapa versi menyebutkan, sejatinya, tokoh Bagong bukan anak kandung Semar.
Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sang Hyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman.
Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia.
Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan".
Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Dikutip dari berbagai sumber, gaya bicara tokoh Bagong dalam pewayangan yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda kala itu.
Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram.
Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya.
Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Panjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura.
Sejak tahun 1745, Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta di Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja.
Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan mereka.