Serikat Pengajar HAM Mendesak Pilkada 2020 Ditunda

Sepaham Indonesia dan pusat-pusat studi HAM kampus mendesak pemerintah menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020

Penulis: Sri Wahyunik | Editor: Eben Haezer Panca
tribunnews
ilustrasi pilkada 

SURYA.co.id | JEMBER - Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) Indonesia dan pusat-pusat studi HAM kampus mendesak pemerintah menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020. Pertimbangan mendasar yang disampaikan Sepaham dan pusat-pusat studi HAM kampus adalah keselamatan dan kesehatan warga masyarakat.

Demikian poin utama dalam siaran pers Sepaham dan Pusat-Pusat Studi HAM Kampus yang diterima Surya, Selasa (22/9/2020).

Siaran pers itu bermula dari sikap tiga pilar yakni DPR melalui Komisi II, pemerintah, dan penyelenggara Pemilu, yang telah menyetujui tetap melaksanakan Pilkada 2020, pada 9 Desember 2020. Persetujuan dilakukan seraya memberi imbauan pada warga masyarakat soal perlunya tetap menjaga Protokol Kesehatan Covid-19.

Al Hanif, Ketua The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember, yang menjadi salah satu narahubung siaran pers itu mengatakan, kesepakatan tiga pilar tersebut justru terjadi di saat laju angka penyebaran COVID-19 semakin terus membesar, termasuk angka korban meninggal dunia yang terus bertambah.

Mereka juga menyertakan data penyebaran Covid-19 per 21 September, yakni kasus konfirmasi positif, 4.176 orang, sehingga total konfirmasi, 249.852 orang. Sedangkan angka kematian akibat Covid-19, mendekati angka 10.000 orang.

"Bukankah pemerintah hari ini gagal mengendalikan laju angka korban akibat Covid-19. Sampai saat ini, bukankah tanda-tanda penurunan angka korban belum terjadi. Terlebih lagi, para pejabat di kementerian, KPU, Bawaslu, dan juga mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu justru terpapar Covid-19. Kenapa malah membuat kesepakatan Pilkada tetap jalan terus," tegas Hanif.

Hanif menambahkan, desakan penundaan Pilkada tahun 2020 tidak hanya disuarakan oleh para dosen pengajar HAM saja. Desakan serupa telah juga disuarakan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

"Karena itulah, kami mendesak supaya Pilkada serentak tahun 2020 ditunda. Karena jika diteruskan, bagi kami itu merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena pembiaran atas pertaruhan korban dan nyawa banyak warga, apalagi di tengah pemerintah yang gagal mengendalikan pandemi sejak tujuh bulan lalu," tegas Hanif.

Berikut poin desakan Sepaham dan pusat-pusat studi HAM kampus melalui siaran persnya;

Pertama, mengecam keras persetujuan bersama DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu yang terus melanjutkan Pilkada 2020. Bagi kami, keputusan ini tak hanya memperlihatkan ketidakpekaan atas suara rakyat, melainkan pula mengabaikan penyelamatan hak-hak dasar warga yang kini semua sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19.

Kedua, alasan Presiden Joko Widodo, melalui Juru Bicara Fajroel Rahman, yang menyatakan Pilkada 2020 tetap dilaksanakan sebagai bentuk demokrasi konstitusional, adalah pernyataan yang manipulatif dan mengerdilkan makna demokrasi itu sendiri dan korup atas tafsir konstitusional, yang sesungguhnya mengatur hak-hak hidup, keselamatan warga dan perlindungan kesehatan yang pula sebagai hak-hak konstitusional.

Ketiga, keputusan tetap melanjutkan tahapan Pilkada, jelas bagi kami merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena pembiaran atas pertaruhan korban dan nyawa banyak warga, apalagi di tengah pemerintah yang gagal mengendalikan pandemi sejak tujuh bulan lalu.

Keempat, kami mendesak Pilkada 2020 ditunda, sampai situasi: (1) Pandemi Covid-19 lebih bisa dikendalikan hingga penurunan angka yang menjadi batas aman bagi keselamatan warga; (2) Pemerintah telah menyiapkan kerangka kebijakan maupun regulasi protektif, terkoordinasi dengan baik terutama dengan para ahli dan asosiasi medis, ahli epidemiologi, dan lembaga riset terkait yang menopang kebijakan protektif tersebut; (3) Memperlihatkan komitmen politik yang mengutamakan penyelamatan hak-hak warga, memperkuat kondisi layanan kesehatan, perlindungan tenaga kesehatan/medis, dan realisasi progresif perlindungan secara paripurna hak-hak asasi manusia.

Siaran pers itu dikeluarkan oleh para pengajar HAM dari sejumlah kampus, negeri dan swasta, di berbagai kota di Indonesia, yakni Medan, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Purwokerto, Jember, Malang, Banjarmasin, Samarinda, dan Banda Aceh.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved