Virus Corona di Tulungagung
Siswa SMKN 3 Boyolangu Tulungagung Ciptakan Alat Cuci Tangan Hybrid dan Sensor Suhu Otomatis
Siswa SMKN 3 Boyolangu menciptakan alat cuci tangan hybrid dan sensor suhu otomatis.
Penulis: David Yohanes | Editor: Titis Jati Permata
SURYA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Siswa SMKN 3 Boyolangu menciptakan alat cuci tangan hybrid dan sensor suhu otomatis.
Dua alat ini menjadi andalan sekolah ini selama masa pandemi virus corona.
Dua alat ini bekerja otomatis tanpa sentuhan tangan.
Hal ini untuk meminimalisasi penularan virus corona.
Kran alat cuci tangan ini dilengkapi dengan sensor, sehingga akan menyala saat ada tangan di bawah kran.
Hal yang sama juga berlaku untuk dispenser sabun cair.
Untuk penyuplai daya, alat cuci tangan ini menggunakan tenaga surya.
"Saat awal masa pandemi, kami berpikir bagaimana menciptakan alat cuci tangan untuk mencegah penularan Covid-19," ujar Wakil Kelapa Sekolah Bidang Humas SMKN 3 Boyolangu, Heni Ratmiko, Selasa (18/8/2020).
Sementara alat ukur suhu otomatis dipasang di dalam ruangan.
Alat ini untuk mengukur suhu tanpa sentuhan, lewat dahi atau tangan.
Saat sensor ditembakkan, suhu akan ditampilkan di sebuah display LED.
Jika suhu di atas 37,5 derajat celsius maka akan memicu alarm dan lampu menyala merah.
Jika alarm berbunyi, siswa bersangkutan akan segera dibawa ke UKS.
Alat ukur suhu tubuh otomatis ini menghabiskan biaya Rp 2.000.000.
"Alat ini kami pasang di lingkungan sekolah selama masa pandemi," sambung Heni.
Sensor suhu otomatis ini di pasaran bisa mencapai Rp 15 juta.
Kepala Bengkel Tekhnik Elektronika Industri SMKN 3 Boyolangu, Yudi Hariono mengatakan, saat ini komponen yang paling didapat adalah sensor.
Sensor suhu tubuh terpaksa harus dibeli dari Tiongkok, karena pasar di Indonesia sudah habis.
"Sebelumnya sensor ini bisa dibeli di Surabaya. Tapi kemarin kami harus pesan dari China, sehingga lebih mahal," tutur Yudi.
Pengukur suhu tubuh ini menggunakan dua sensor, yaitu sensor jarak dengan infrared dan sensor suhu.
Sedangkan alat cuci tangan otomatis hanya menggunakan sensor jarak.
Satu alat dikerjakans elama dua minggu oleh lima siswa dan guru pembimbing.
"Kami juga mencari referensi lebih dulu, termasuk lewat Youtube," sambung Yudi.
Sedangkan para siswa yang dipercaya mengerjakan dibekali ilmu statistik untuk coding dan pembacaan data.
Para siswa ini bahkan harus bekerja hingga pukul 21.00 WIB untuk menyelesaikan dua alat ini.