Kilas Balik
Tersesat Saat Buru KKB Papua Kelly Kwalik, Prajurit Elite TNI Alami Hal Tak Masuk Akal, ini Kisahnya
Tersesat Saat Memburu KKB Papua Kelly Kwalik, Prajurit Elite TNI ini Mengalami Hal Tak Masuk Akal, Begini Kisahnya.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
Namun, Kelly Kwalik berulang kali membantah bertanggung jawab atas serangan-serangan tersebut.
Nama Kelly Kwalik pertama kali mencuat di dunia internasional setelah pada tanggal 8 Januari 1996, KKB Papua yang dipimpinnya menyandera 26 anggota Ekspedisi Lorentz 95 yang beranggotakan warga Indonesia maupun internasional.
Insiden tersebut mengakibatkan tewasnya 2 dari sandera tersebut dalam Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma oleh Kopassus yang dipimpin Komandan Prabowo Subianto, dan juga berujung terjadinya Insiden Penembakan Timika 1996 yang menewaskan 16 orang.
Pada tanggal 16 Desember 2009, Kelly Kwalik tertembak di salah satu tempat persembunyiannya di Gorong-Gorong, lingkungan Timika.
Kelly Kwalik kemudian meninggal di rumah sakit di Timika.
Pemakaman Kelly Kwalik diadakan di gedung Dewan Perwakilan Daerah pemerintah daerah Papua di Timika.
Keluarga dan pendukung Kelly Kwalik telah meminta agar mereka diizinkan untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora di pemakaman tersebut.
Namun, permintaan itu ditolak oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Papua, karena bendera yang melambangkan Organisasi Papua Merdeka tersebut dilarang di Papua maupun di Republik Indonesia.
KKB Papua Kelly Kwalik hadapi Kopassus dan Kostrad
TNI pernah mengirim Kopassus dan Kostrad untuk memburu KKB Papua Kelly Kwalik
Kronologinya berawal saat KKB Papua Kelly Kwalik menculik 26 peneliti Tim Lorentz ’96.
Penelitian dilakukan antara bulan November 1995 dan Januari 1996.
Anggota tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Matheis Y.Lasamalu (30), Jualita Tanasale (30), Adinda Arimbis Saraswati (25).
Sementara anggota tim dari Inggris terdiri dari Daniel Start (22), William “Bill” Oates (23), Annette van der Kolk (22), dan Anna Mclvor (21).
Mereka juga dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi Sumber Daya ALam (BKSDA) Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya.