Lipsus

Melihat Desa-desa Rawan Bencana di Jember: 2006 Terjadi Banjir Bandang Dahsyat di 5 Desa

Desa Suci di Kecamatan Panti, merupakan satu desa di Kabupaten Jember yang termasuk dalam kawasan rawan bencana.

Penulis: Sri Wahyunik | Editor: Parmin
surya.co.id/sri wahyunik
Siswoyo, warga Desa Suci Kecamatan Panti menunjukkan batu besar di samping rumahnya. Batu besar itu merupakan batu kiriman dari gunung dalam peristiwa banjir bandang yang melanda kecamatan itu pada 1 Januari 2006 malam. Batu besar itu teronggok di tempat yang dulunya adalah ruang tamu di rumah Siswoyo . 

Surya.co.id | JEMBER - Desa Suci di Kecamatan Panti, merupakan satu desa di Kabupaten Jember yang termasuk dalam kawasan rawan bencana.

Dari pemetaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember, Desa Suci termasuk kawasan rawan bencana banjir bandang.

Tidak hanya Desa Suci yang termasuk dalam KRB banjir bandang. Bersamanya ada Desa Kemuninglor, Kemiri, Pakis, dan Serut.

Lima desa bertetangga, dan berada di kaki Gunung Hyang Argopuro. Sebelum mencapai punggung pegunungan itu, jangan lupa hamparan perbukitan yang menjadi kawasan perkebunan, dan hutan Perhutani.

Tak aneh, kelima desa itu menjadi KRB banjir bandang. Dan jangan lupakan pula peristiwa malam tanggal 2 Januari, alias Minggu, 1 Januari 2006 malam.

Banjir bandang menerjang desa-desa tersebut. Sebuah peristiwa yang menghentak Jember karena puluhan orang (ada yang menyebut ratusan) meninggal dunia, ribuan orang mengungsi, juga banyaknya kerusakan.

Bebatuan besar, lumpur, dan batang kayu besar seakan digelontorkan dari kawasan atas.

Peristiwa itu membuat kepala negara kala itu, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi kawasan bencana banjir bandang Panti tersebut.

14 tahun peristiwa banjir bandang Panti tepat terjadi 1 Januari 2020. Minggu (5/1/2020), siang Surya menapaktilasi salah satu desa yang terkena terjangan banjir bandang tersebut, yakni Desa Suci.

Surya melintasi salah satu jalan yang menuju Balai Desa Suci dari pertigaan Pasar Suci. Tahun 2006, saat banjir bandang terjadi, jalanan itu tidak bisa dilewati karena tertutup lumpur.

"Tidak hanya lumpur, tetapi bebatuan besar. Tahun 2006, jalanan ini tidak bisa dilewati. Kawasan ini sudah los, kayak padang mahsyar. Semuanya diterjang, rumah, pepohonan," tutur Siswoyo (43), warga Dusun Gaplek Barat Desa Suci saat berbincang dengan Surya, Minggu (5/1/2020).

Surya mengamini penuturan Siswoyo, kawasan di samping kanan dan kiri jalan tersebut memang rata karena dipenuhi tanah dan bebatuan. Rumah yang berdiri di tempat itu rusak, seperti yang terjadi pada rumah Siswoyo.

Rumah Siswoyo berada di samping anak Sungai / Kali Putih. Anak sungai itulah yang tahun 2006 meluap, hingga merusak kawasan sekitarnya.

Siswoyo tidak akan melupakan peristiwa malam itu. "Saya ingat betul, malam tanggal 2 Januari tahun 2006. Saya berhasil mengungsikan istri, dan dua anak saya, meskipun hanya melakat satu baju di masing-masing tubuh kami. Harta benda rusak. Ayam peliharaan mati semua," kata Siswoyo.

Setelah beberapa hari, dan jalanan di depan rumah Siswoyo bisa dilewati, Siswoyo mendapati rumahnya rusak berat. Sebuah batu sebesar mobil teronggok di titik yang dulunya ruang tamu. Hingga saat ini, batu besar itu masih berada di dekat rumahnya. Sejumlah batu besar juga masih teronggok di sekitar rumah Siswoyo. Batu-batu besar itu merupakan kiriman dari pegunungan dalam banjir bandang 2006 tersebut.

Kini Siswoyo mendirikan rumah di samping batu besar yang ditemukan di bekas ruang tamu rumahnya. Siswoyo tidak pindah dari samping anak Kali Putih karena tanah itu merupakan tanah pribadi keluarganya.

"Tidak mungkin pindah. Tanah ini milik keluarga. Di belakang rumah saya itu, keluarga semua. Ya kami membangun rumah kembali setelah peristiwa 2006," ujar Siswoyo.

Apakah masih ada trauma atas peristiwa 2006?. Siswoyo mengakui, dirinya dan keluarga masih merasakan trauma itu. Apalagi jika hujan deras mengguyur, dan debit air sungai di samping rumahnya meninggi.

"Perasaan takut, dan trauma itu masih ada," tuturnya. Karenanya, dirinya bersama warga sekitar selalu memantau cuaca di kala musim penghujan. Mereka harus siaga, dan bersiap ketika melihat kawasan pegunungan di atas mereka mendung pekat, ditambah informasi turun hujan deras.

Siswoyo dan keluarga juga memanfaatkan informasi bersama melalui aplikasi percakapan di ponsel pintar. Mereka harus rajin memperbarui informasi terkait cuaca, terutama hujan deras di sekitar mereka.

Warga Desa Suci juga memiliki daerah rujukan yang bisa dijadikan lokasi mengungsi ketika banjir melanda.

"Namanya kawasan Gandol, berada di ketinggian di sisi barat kawasan tempat tinggal kami ini. Ini juga petuah dan nasehat dari pendahulu kami. Mereka bilang kalau ada banjir besar, ngungsinya kesana. Itu juga yang kami lakukan tahun 2006. Dulu sekali, "ujar Siswoyo.

"Tidak tahu tahun berapa, pernah juga terjadi banjir besar. Para orang tua dulu juga ngungsinya ke Gandol itu," imbuhnya.

Nasehat itu yang mereka percayai sampai sekarang.

Seperti pada tahun 2018 lalu, ketika debit sungai di samping rumah Siswoyo meninggi, keluarganya langsung menuju kawasan Gandol itu.

Selain memperbarui informasi cuaca, warga Desa Suci juga memiliki sebuah alat deteksi dini banjir.

Alat itu terpasang di dekat jembatan di samping rumah Siswoyo. Ketika debit sungai itu tinggi, maka sirine di alat tersebut berbunyi.

"Awal tahun 2019 sempat bunyi saat debit air tinggi. Warga ada yang mendengar. Sayangnya, ada orang yang pernah mencuri speaker (pelantang) di alat itu. Setahun lalu diganti baru, karena dicuri orang. Padahal kami warga sekitar sini, berusaha menjaganya," tegas bapak dua anak tersebut.

Siswoyo dan warga Desa Suci menyadari bahwa daerah mereka merupakan daerah rawan bencana.

Karenanya, mereka harus memiliki kesiapsiagaan dini menghadapi bencana.

Apalagi mereka punya pengalaman banjir bandang tahun 2006.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved