Kilas Balik
4 FAKTA Aksi Pasukan Bertopeng Tumpas Begal Sadis di Era Soeharto, Jadi Inspirasi Presiden Duterte
Terungkap sejumlah fakta di balik operasi penumpasan begal sadis di era presiden Soeharto yang menyisakan pro dan kontra
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
Di forum internasional juga ada yang menyinggung-nyinggungnya, mengeksposnya. Dia tidak mengerti masalah yang sebenarnya." tulis Soeharto dalam bukunya
Menurut Soeharto, masalah itu bukanlah hal yang misterius.
Hal itu sebenarnya adalah kejadian yang didahului oleh keresahan dan ketakutan rakyat atas aksi para begal sadis
"Kejadian itu, misterius juga tidak.
Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat.
Ancaman-ancaman yang datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagaimanya terjadi. Ketenteraman terganggu.
Seolah-olah ketenteraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja.
Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan.
Mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan.
Umpanya saja, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian masih dibunuh.
Itu kan sudah di luar kemanusiaan. Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan lantas membunuh.
Kemudian ada perempuan yang diambil kekayaannya dan si istri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi."
Soeharto menganggap hal itu sudah keterlaluan
Ia lantas melakukan sebuah tindakan untuk meredam aksi para begal sadis itu
"Itu sudah keterlaluan !. Apa hal itu mau didiamkan saja?.
Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana?.
Ya, harus dengan kekerasan.
Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak."
Soeharto juga membahas tentang beberapa mayat begal sadis yang dibiarkan begitu saja
Menurutnya, hal ini bertujuan untuk memberi shock theraphy untuk begal lainnya agar tak berulah
"Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock theraphy, terapi goncangan.
Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya.
Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu.
Maka kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu." tulis Soeharto
4. Jadi Inspirasi Presiden Duterte
Tindakan ekstrim Soeharto itu justru menjadi inspirasi presiden Filipina, Rodrigo Duterte
Melansir dari Kompas.com dalam artikel 'Wiranto Ungkap Presiden Duterte Terinspirasi "Petrus" di Era Soeharto', hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto
Wiranto mengungkap isi perbincangan yang terjadi antara Presiden Filipina Rodrigo Duterte dengan Presiden Joko Widodo.
Pertemuan itu terjadi saat Presiden Joko Widodo menghadiri Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-30 ASEAN di Manila, Filipina, Sabtu (29/4/2017).
Menurut Wiranto, saat itu Duterte mengungkapkan alasan kebijakan menembak mati bandar narkoba diadopsi dari sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia.
Duterte, kata Wiranto, mencontoh peristiwa "penembakan misterius" atau "petrus" yang pernah terjadi di era kepemimpinan Presiden Soeharto pada periode 1980-an.
Pada era itu terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
"Saat itu Duterte melontarkan joke. 'Saya ini kan belajar dari Indonesia.' Lalu Presiden Jokowi bingung, kapan Presiden Duterte belajar ke Indonesia," ujar Wiranto di sela-sela memberikan pengarahan pada acara Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LVI, di gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (11/8/2017).
"Duterte menjawab, 'Enggak saya belajar dari 'Petrus'-nya Pak Harto itu lho'," kata Wiranto, yang juga pernah menjabat ajudan presiden di era Soeharto.
Sontak para peserta yang hadir di auditorium tertawa mendengar hal itu.
"Jadi rupanya Petrus yang di Indonesia sampai sekarang dianggap sebagai salah satu pelanggaran HAM yang belum diselesaikan, itu di sana (Filipina) jadi contoh," kata mantan Panglima ABRI itu.