Kilas Balik
Sosok Pentolan Pemberontak yang Bikin Soekarno Menangis, Bung Karno Hukum Mati Sahabatnya Sendiri
Kartosoewirjo, merupakan salah satu pentolan pemberontak DI/TII yang sempat membuat Soekarno menangis, ini sosoknya
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
SURYA.co.id - Kartosoewirjo, merupakan salah satu pentolan pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) atau NII (Negara Islam Indonesia) yang sempat membuat Soekarno menangis
Dilansir dari SOSOK.grid.id dalam artikel 'Bung Karno Menangisi Sahabatnya, Si Pria Pendek Bertubuh Kurus dan Rambut Keriting', Soekarno tak kuasa menahan tangis saat ia harus menandatangani surat keputusan untuk menghukum mati Kartosuwiryo
Yang membuat sedih Bung Karno bukanlah kelompok pemberontak tersebut, namun Kartosuwiryo pimpinan dari kelompok itu adalah sahabat masa muda Soekarno.
Kartosoewirjo, adalah salah satu kawan dari Soekarno kala masih menimba ilmu dan mondok di rumah HOS TJokroaminoto di Surabaya pada tahun 1918-an.

Ketika menjabat menjadi Presden pasca Kemerdekaan Indonesia, selang berapa tahun kemudia meletuslah pemberontakan yang dipicu kekecewaan dan dipimpin oleh sang sahabat, Kartosoewirjo.
Salah satu keputusan berat yang harus diambil Soekarno adalah menandatangai vonis mati terhadap sahabatnya tersebut.
Karena Kartosoewirjo terbukti sebagai Imam dan Pimpinan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, berkas eksekusi mati tertulis nama itu berkali-kali disingkirkan dari meja kerja Soekarno.
Soekarno dan Kartosoewirjo sama-sama berguru kepada orang yang sama yakni HOS Tjockroaminoto.
"Pada 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air.
Pada tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, di berjuang semata-mata menurut azas agama", Kata Soekarno yang dikutip dari buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Kartosoewirjo adalah salah satu sahabat semasa tinggal di rumah Pak Tjokro yang tak pernah bosan mengomentari Soekarno saat berlatih pidato di depan cermin.
Namun tak jarang kritik yang dilontarkan Kartosoewirjo lebih kepada ejekan.
"Hei Karno, buat apa berpidato di depan cermin? Seperti orang gila saja", celetuk Kartosoewirjo yang dikutip dari Majalah Intisari Edisi Agustus 2015.
Mendengar komentar sahabatnya Soekarno muda membalas, " Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting mana bisa jadi orang besar!", begitu yang ditulis dari Majalah Intisari Edisi Agustus 2015.
Kemudian keduanya tertawa bersama-sama.
Namun perjuangan kedua sahabat itu mulai berbeda arah, yang membuat seperti terlihat berselisih pandang.
Soekarno sangat nasionalis, sedangkan sang sahabat, Kartosoewirjo sangat religius.
Tahun 1962, nama sang sahabat mencuat sebagai salah satu pentolan yang dianggap memberontak pemerintahan Republik dibawah DI/TII.
Akhirnya Kartosoewirjo tertangkap oleh pasukan Yonif Linud 328, lantas dijatuhi pidana mati pada 16 Agustus 1962 oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper).
Ketika menandatangani surat keputusan untuk menghukum mati Kartosuwiryo, Seokarno sempat menangis mengingat Kartosoewirjo pernah menjadi sahabat dekatnya.
Lalu pada 4 September 1962, sekitar pukul 05:50 WIB, hukuman mati terhadap Kartosoewirjo dilaksanakan oleh sebuah regu tembak di sebuah pulai di sekitar Teluk Jakarta.
Jenderal TNI yang Bikin Soeharto Nangis
Tak hanya Soekarno, presiden ke-2 RI Soeharto pun pernah menangis saat sahabatnya meninggal
Soedjono Hoemardani, merupakan seorang jenderal TNI berambut gondrong yang pernah membuat Soeharto menangis
Dilansir dari Sosok.grid.id dalam artikel 'Soedjono Hoemardani, Jenderal TNI Berambut Gondrong yang Buat Soeharto Menangis', tangis Soeharto pecah saat menghadiri pemakaman jenderal TNI berpenampilan tak biasa itu pada 12 Maret 1986
Tangis Soeharto terekam saat TVRI sebagai saluran televisi nasional Indonesia menayangkan prosesi pemakaman sang jenderal TNI berambut gondrong, Soedjono Hoemardani.
Soedjono Hoermardani dikenal sebagai jenderal TNI yang memiliki potongan rambut unik, karena lebih mirip seorang seniman ketimbang seorang jenderal.

Soedjono Hoermardani muda atau lebih dikenal sebagai Djonit, tak pernah jauh dengan dunia ekonomi.
Ia anak dari Raden Hoemardani, seorang pedagang di Carikan, barat Pasar Klewer Solo.
Sang ayah adalah pemasok berbagai jenis bahan makanan dan pakaian pamong serta abdi keraton Kasunanan Surakarta.
Soedjono selepas lulus dari HIS Surakarta melanjutkan sekolahnya di Gemeentelijke Handels School, sebuah sekolah dagang di Semarang.
Tahun 1937 ia lulus dan kembali ke Solo untuk meneruskan usaha sang ayah.
Sekitar usia 20 tahuna, Soedjono menjadi bendahara organisasi pergerakan bernama Indonesia Muda sekaligus ia juga menjabat menjadi fukudanco (wakil komandan) dari keibodan (pembantu polisi) pada masa pendudukan Jepang.
“Sejak awal karier militernya pada masa revolusi, Soedjono Hoemardani ditugaskan mengelola bidang ekonomi dan keuangan. Sebagai anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR), suatu organisasi keamanan yang kelak berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia dan berhubungan dengan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP), dia ditunjuk sebagai ketua bagian keuangan BPKKP di sekitar Solo,” tulis Michael Sean Malley dalam "Soedjono Hoemardani dan Orde Baru" dalam Prisma edisi khusus 20 tahun Prisma Di Atas Panggung Sejarah Dari Sultan ke Ali Moertopo (1991:105).
Awal karier kemiliteran Soedjono berpangkat Letnan dua dan bisa mencapai pangkat jenderal sebelum ia meninggal dunia.
Harry Tjan Silalahi dalam buku Soedjono Hoemardani 1918-1986 (1987:16) menyebut Soedjono Hoermardani menjadi bendahara di Resimen 27 Divisi IV dengan pangkat Letnan Dua dalam kurun 1945-1947.
Setelahnya dia naik pangkat jadi Letnan Satu dengan jabatan perwira bagian keuangan Divisi tersebut hingga 1949.
Tahun 1950, pangkatnya naik jadi Kapten.
Tahun berikutnya dia dipindahkan ke Semarang.
Tahun 1957 pangkatnya jadi Mayor dengan jabatan Direktorat Administrasi Angkatan Darat (DAMAD) di Bandung.
Tahun 1961, pangkatnya naik lagi jadi Letnan Kolonel dengan jabatan Wakil Deputi III/KSAD.
Djonit tak dikenal sebagai perwira tempur, meski dia ikut revolusi kemerdekaan.
Ia membuktikan bahwa tentara tak hanya mengurus pertempuran, melainkan juga logistik, administrasi, dan urusan di atas kertas lain.
Berbisnis saat jadi tentara tidak sulit bagi Soedjono Hoermardani karena dia pernah berbisnis sebelum balatentara Jepang mendarat.
Di bidang keuangan, selain pernah pernah dikirim belajar ke Fort Benjamin Harisson, Amerika Serikat, Soedjono Hoermardani terasah kemampuannya dengan menjadi wakil Alamsjah Prawiranegara di Finansial Ekonomi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) antara 1963 hingga 1965.
Soedjono Hoermardani pada 1966 berpangkat kolonel dan menempati Pembantu Khusus Ekubang/Warpam Sospol.

Soedjono Hoemardani, bersama Suryohadiputro dan Alamsyah Ratuprawiranegara termasuk jenderal-jenderal yang sering didatangi pengusaha.
Mereka, menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:66), digolongkan sebagai Jenderal Finansial.
"Di antara mereka yang punya jalur khusus dengan Soeharto adalah Soedjono Hoermardani, konon kata seorang ajudan dialah satu-satunya yang selain ibu Tien boleh masuk kamar tidur,” tulis Borsuk dan Chng.
Soedjono Hoermardani sering disebut-sebut sebagai penasehat spiritual Presiden Soeharto.
Hubungannya dengan Soeharto, konon terkait dengan Soediyat Prawirokoesoemo alias Romo Diyat, seorang guru spiritual yang pernah bilang pada Soedjono agar menjaga Soeharto karena dipercaya akan menjadi orang besar.
Baik Soeharto dan Soedjono Hoermardani, mereka berdua sering pergi ke tempat-tempat keramat.
Selain sebagai jenderal finansial, Soedjono Hoermardani juga salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Ia adalah salah satu orang yang mencarikan dana untuk menghidupkan CSIS.
Kedekatan itulah yang membuat Soeharto merasa kehilangan ketika sang sahabat tutup usia pada 12 Maret di Tokyo.
Pria asli Surakarta tersebut selain berpangkat jenderal ternyata ia juga bertitel doktorandus.
Soedjono Hoermardani, mertua mantan Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo inilah salah satu orang yang bisa membuat Soeharto meneteskan air mata.