DPRD Jatim

Beberapa Penyebab DPRD Jatim Baru Tuntaskan Separuh Jumlah Usulan Raperda hingga Akhir Masa Jabatan

DPRD Jawa Timur untuk periode 2014-2019 akan mengakhiri masa jabatannya pada 31 Agustus 2019 mendatang.

Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Parmin
SURYAOnline/bobby constantine koloway
Ketua DPRD Jawa Timur, Abdul Halim Iskandar bersama jajaran pimpinan DPRD Jatim dan Gubernur Khofifah Indar Parawansa saat mengambil keputusan Perda dala sidang paripurna, beberapa waktu lalu. 

SURYA.co.id | SURABAYA - DPRD Jawa Timur untuk periode 2014-2019 akan mengakhiri masa jabatannya pada 31 Agustus 2019 mendatang. Hinga masa akhir jabatan tersebut, dewan Jatim berpotensi baru menyelesaikan separuh dari jumlah usulan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propem Perda).

Pada 2019, DPRD mendapatkan 24 usulan Raperda,13 di antaranya merupakan usulan pemerintah provinsi (eksekutif) sedangkan sisanya merupakan usulan DPRD Jatim.

Sedang hingga Juli 2019, DPRD Jatim baru menetapkan tiga Perda selama setahun. Selain itu, lima perda tengah dalam fasilitasi dan sosialisasi dengan Kementerian Dalam Negeri, lima perda dalam pembahasan di DPRD, dan sisanya belum dibahas.

Tiga Perda yang telah diputuskan tersebut di antaranya adalah Perda No 1//2019 tentang Penyelenggaraan Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat. Kemudian, Perda No 2/2019 tentang Penanaman Modal. Serta, Perda No 3/2019 tentang Rencana Industri Provinsi Jatim tahun 2019-2039.

Apabila diakumulasikan dengan lima tahun sebelumnya, jumlah perda yang disahkan DPRD Jatim periode 2014-2019 mencapai 72 perda dari 158 Propem Perda (45 persen).

Ketua DPRD Jawa Timur, Abdul Halim Iskandar menjelaskan bahwa capaian Raperda yang diputuskan menjadi Perda tiap tahunnya meningkat.

Pada 2018 misalnya, jumlah Raperda yang disahkan mencapai 15 Perda dari 11 perda yang disahkan di tahun sebelumnya.

Meskipun demikian, Halim tak memungkiri ada beberapa hal yang membuat pembahasan Raperda di dewan menjadi cukup alot. Sehingga, menyebabkan tak seluruh Raperda dapat diputuskan menjadi perda.

Pertama, belum adanya peraturan yang memayungi rancangan tersebut. Misalnya, perundang-undangan yang mensyaratkan dasar hukum tambahan untuk membuat Perda.

"Misalnya, UU-nya sudah ada. Namun, dalam membentuk Perda, perlu PP (Peraturan Pemerintah). Sementara PP-nya belum keluar. Sehingga kami belum bisa membahas Raperdanya karena kawatir bertentangan dengan PP," kata Halim.

Kedua, dewan juga mempertimbangkan urgensi dari Perda yang dibahas. "Ada kalanya, perda menjadi penting dibahas ketika diusulkan. Namun, saat dalam perjalanan ada perubahan konstilasi yang membuat perda lain harus dibahas terlebih dahulu," jelas politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Ketiga, persamaan pandang antara dewan dan pemerintah yang acap kali tak menemui titik temu. Pemerintah dan dewan seringkali berbeda pandang soal urgensi Raperda. "Bicara urgensi saja itu butuh waktu panjang," kata Halim yang juga Ketua DPW PKB Jatim ini.

Meskipun demikian, pihaknya memastikan bahwa Perda yang dihasilkan berkualitas, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. "Prinsipnya, kami tak mementingkan kuantitas, namun kualitas," kata Halim.

Sebab menurutnya, DPRD Jatim menyusun Perda sesuai dengan tujuan keberadaan perda. Yakni, kepastian hukum hingga kemudahan pelayanan publik. "Rumusnya, perda dibuat ketika problematika muncul, sehingga butuh payung hukum, yang targetnya kepastian hukum dan pelayanan publik," jelas Halim.

Dengan memaksakan Raperda selesai dan tidak memenuhi dua tujuan tersebut, dinilai tak memiliki urgensi. "Apalagi kadang-kadang ada peraturan yang beda sudut pandang," jelas kakak kandung Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar ini.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved