Berita Jombang
Perajin Sarung Keris Jombang Menangguk Untung Bulan Suro, Banjir Pesanan
Datangnya bulan Suro selalu menjadi berkah tersendiri bagi Sudahri (48) warga Desa Miagan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.
Penulis: Sutono | Editor: Parmin
Sudahri, perajin warangka atau sarung keris sedang merampungkan hasil karyanya, dan pembeli warangka sedang memilih warangka hasil karya Sudahri di kiosny.(sutono)
SURYA.co.id, JOMBANG - Datangnya bulan Suro selalu menjadi berkah tersendiri bagi Sudahri (48) warga Desa Miagan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.
Sebab, sebagai perajin warangka atau sarung keris, dia selalu kecipratan berkah Suro derngan membanjirnya pesanan pembuatan warangka.
Ini tak lain karena erat berkaitan dengan tradisi Jawa yang ‘mengharuskan’ kolektor keris untuk mencuci benda pusakanya pada bulan pertama penanggalan Jawa tersebut, serta melakukan perawatan, termasuk mengganti warangka jika sudah tidak layak.
Sudahri menjadi ‘jujugan’ para kolektor maupun pemilik benda pusaka atau tosan aji lebih-lebih karena dialah satu-satunya perajin warangka di Kabupaten Jombang.
Apalagi, selain membuat warangka, dia juga sekaligus menyediakan jasa perbaikan pusaka serta mencuci atau ‘marangi’ (memberi warangan) dan menjamasi keris, sehingga keris memunculkan kembali pamornya.
Ditemui di toko kecilnya, di Pasar Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung Sudahri yang kelahiran Sumenep, Madura ini mengaku, sebelum dan setelah memasuki bulan Suro, pesanan untuk kerajinan warangkanya naik hingga 80 persen.
Karena banyak pesanan, dia dibantu ayahnya sendiri, Sudjini (68). “Iya, biasa setiap bulan Suro tiba, pesanan pembuatan warangka memang naik, termasuk jasa untuk menjamasi maupun marangi,” kata Sudahri, Kamis (4/10/2018).
Sudahri sendiri mematok harga bagi hasil karyanya berupa warangka secara bervariasi, tergantung tingkat kesulitan dan ukuran warangka dan bahan bakunya. Namun berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 500.000 per buah.
Dengan harga relatif murah tersebut, Sudahri tak hanya diminati kolektor dari Jombang saja, melainkan juga pecinta tosan aji luar daerah. Seperti Kediri, Mojokerto, Nganjuk, dan daerah lain di Jawa Timur.
Menurut Sudahri, pembuatan warangka sebenarnyha tidak terlalu rumit. Hanya saja membutuhkan ketelitian serta wawasan tentang perkerisan, dan punya cita rasa seni perkerisan atau benda pusaka.
Sedangkan kayu untuk bahan baku, antara lain, dari kayu sawo, mentaos, asem, jati, setigi, timongo, cendana. “Yang paling mahal dari kayu gaharu,” terang Sudahri.
Kayu-kayu pilihan tersebut selanjutnya dipola mengikuti alur keris. Kemudian, kayu digergaji sesuai pola dan dihaluskan, sebelum diukir sesuai selera pemesan.
Selanjutnya bahan setengah jadi warangka itu dilubangi secara membujur menggunakan peralatan khusus. Dan akhirnya, warangka yang sudah jadi tersebut dipelitur dengan bahan khusus.
Sudahri mengaku membuat warangka dan membersihkan pusaka itu merupakan keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun sejak kakek moyangnya mengabdi di Kerajaan, Sumenep, Madura.