Hari Kartini 21 April 2018 - Kisah Pilu yang Jarang Diketahui Saat RA Kartini Perjuangkan Hak Wanita
Pada surat-surat RA Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama perempuan pribumi.
SURYA.CO.ID - Pada surat-surat Raden Ajeng (RA) Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan jugaSolidariteit.
Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa.
Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Ya, di balik perjuangannya, ada kisah pilu lainnya dalam kehidupan Kartini.
Kartini adalah anak seorang selir.
RA Kartini lahir dari seorang Bupati Jepara, RM Adipati Ario Sosroningrat dan seorang selir bernama Ngasirah.
Sejak Kartini lahir, ia sudah bisa merasakan perbedaan hidup di antara istri sah dan juga selir.
Sayangnya walau ia sudah mengerti akan hal itu, Kartini tetap menikah dengan seorang suami yang memiliki dua istri.
Mengenai kisah cintanya, Kartini banyak menulis tentang pandangan dan perasaannya yang kemudian dia kirimkan kepada sahabatnya di Eropa.
Setelah Kartini meninggal dunia, Mr JH Abendanon kemudian mengumpulkan dan menerbitkannya dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis tot Licht".
Buku tersebut kali pertama diterbitkan pada 1911.
Sebelas tahun kemudian atau pada tahun 1922, terjemahannya dalam bahasa Melayu, yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" diterbitkan Balai Pustaka.
Perasaan Kartini tentang cinta juga terungkap dalam surat-suratnya kepada sahabatnya tersebut.
Dilansir Tribunjogja (grup Surya.co.id) , buku "Door Duisternis tot Licht" yang kemudian diterjemahkan Agnes Louise Symmers menjadi "Letters of a Javanese Princess", mengungkap beberapa pandangan Kartini tentang cinta, termasuk perasaannya terhadap pria yang ada di sekelilingnya.
Apakah pandangannya tetang cinta tersebut menyangkut kenyataan bahwa dia dipaksa menjadi istri keempat Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat?
Hanya Kartini dan Tuhan yang tahu.

Berikut ini kutipan pandangan Kartini tentang cinta yang termuat dalam "Letters of a Javanese Princess" yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris.
Berikut ungkapan cinta dari Kartini:
Love! what do we know here of love? How can we love a man whom we have never known? And how could he love us? That in itself would not be possible.
Young girls and men must be kept rigidly apart, and are never allowed to meet.
Cinta! Apa yang kita ketahui tentang cinta? Bagaimana kita dapat mencintai seorang pria yang tak pernah kita kenal sebelumnya?
Bagaimana pria itu dapat mencintai kita? Tentu saja mustahil. Perempuan dan laki-laki muda dipisahkan, dan tak pernah diijinkan untuk berjumpa.
(Jepara - 25 Mei 1899)
How can a man and woman love each other when they see each other for the first time in their lives after they are already fast bound in the chains of wedlock?
Bagaimana mungkin seorang pria dan wanita dapat mencintai satu dengan yang lain ketika mereka baru berjumpa pertama kali dalam kehidupan ini setelah mereka terikat dalam pernikahan?
(Jepara - 6 November 1899)
I shall never, never fall in love. To love, there must first be respect, according to my thinking; and I can have no respect for the Javanese young man.
How can I respect one who is married and a father, and who, when he has had enough of the mother of his children, brings another woman into his house?
Saya tak akan pernah, tak akan pernah jatuh cinta.
Mencintai, pertama-tama membutuhkan rasa hormat, menurut hemat saya; dan saya tidak dapat menghormati pemuda Jawa muda.
Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang telah menikah dan menjadi seorang ayah, dan yang telah memiliki istri yang melahirkan anak-anaknya, membawa perempuan lain ke dalam rumahnya?
(Jepara - 6 November 1899)
I think there is nothing finer than to be able to call a happy smile to a loved mouth—to see the sunshine break over another's face
Tiada hal yang lebih indah selain dapat menerbitkan senyum di wajah mereka yang kita cinta.
(November 1899)
Too often we are made to feel that we Javanese are not really human beings at all. How do the Netherlanders expect to be loved by us when they treat us so? Love begets love, but scorn never yet aroused affection.
Terlalu sering kami merasakan bahwa kami, orang Jawa, bukanlah manusia sama sekali.
Bagaimana mungkin orang-orang Belanda berharap untuk dicintai orang-orang Jawa, ketika mereka memperlakukan kami seperti ini?
CInta melahirkan cinta, tetapi hinaan tak akan pernah menimbulkan kasih sayang.
(23 Agustust 1900)
We wished to be loved - not feared.
Kita berharap untuk dicintai - bukan ditakuti.
(17 Agustus 1902)
Love is the bond which binds us together.
Cinta adalah ikatan yang menyatukan kita.
(17 Agustus 1902)
(BANJARMASINPOST.CO.ID/restudia)