Entertainment

Keren, Nenek 95 Tahun di Gunung Kidul Jadi Nominator Aktris Terbaik AIFFA 2017

Mbah Ponco, nenek 95 tahun dari Gunung Kidul memang tak punya latar belakang akting. Tetapi dia berhasil masuk nominasi aktris terbaik di ajang AIFFA.

kompas.com/Markus Yuwono
Mbah Ponco, perempuan 95 tahun dari Gunung Kidul, Yogyakarta, berhasil masuk nominasi aktris terbaik dalam ajang ASEAN International Film Festival Award yang berlangsung di Malaysia. 

SURYA.co.id | MALAYSIA - ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017 kembali digelar pada Kamis (4/5/2017) malam di Kuching, Sarawak, Malaysia.

Di ajang itu, Ziarah, sebuah judul film asal Indonesia karya Sutradara BW Purba Negara, masuk dalam beberapa nominasi yakni Best Film, Best Screenplay, Best Director, dan Best Actress.

Dalam kategori best actress muncul nama Mbah Ponco atau nama aslinya Ponco Sutiyem (95) warga Dusun Batusari, desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta.

Sejak menikah dengan Ponco Sentono (100) tahun 1940 an dirinya tinggal di dusun Batusari.

Mbah Ponco tak mengenal dunia film sama sekali namun dipilih oleh Sutradara Purba Negara sebagai tokoh utama film yang berlatar belakang masa masa perang kemerdekaan itu.

Untuk berkunjung ke rumah Mbah Ponco di Dusun Batusari, perjalanan dilakukan dari Kota Wonosari ke Desa Kampung yang berjarak sekitar 45 km, dengan waktu kurang lebih satu jam.

Sesampainya di rumah berbentuk Limasan, bercat tembok oranye, tampak Ponco Sentono (Suami Ponco Sutiyem) sedang asyik menyiangi rumput yang tumbuh disela tumbuhan jagungnya.

“Mari sini mas,” kata Ponco Sutiyem dalam bahasa Jawa mempersilahkan Kompas.com masuk.

Setelah beberapa saat berbincang, dia menceritakan tentang proses pengambilan gambar film Ziarah yang menjadikan dirinya sebagai nomine aktris terbaik.

Meski usianya lebih dari 90 tahun, namun ingatan Mbah Ponco tentang pembuatan film tahun 2015 lalu masih diingatnya dengan baik.

“Saya diajak dua kali yang hari pertama empat hari dan yang hari kedua delapan hari. Itu masuk ke desa-desa, di Jombor, Bayat, Klaten, Sriten,” ucapnya.

Jika merujuk dari sinopsis film tersebut, Pada saat agresi militer Belanda ke-2 di tahun 1948, Sri terpisah dengan Prawiro.

Setelah beberapa tahun mencari tak ketemu, dan akhirnya bertemu dengan seorang sahabat Prawiro.

“(Dalam film) itu, nama saya Sri, katanya saya disuruh mencari kuburan seseorang, dan saya beli kembang di pasar, lalu menaburkan di atas makam,” ucapnya.

Dia mengaku tak bisa membaca sama sekali, dan mengikuti segala sesuatu yang diarahkan oleh sang sutradara.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved