Citizen Reporter
Yang Tersisa dari Operasi Trisula di Blitar Selatan
tutur lisan dari para pelaku peristiwa dan hasil riset sejarawan setidaknya dapat membangkitkan imajinasi historis dalam memahami sebuah peristiwa..
Reportase Rintahani Johan Pradana
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
TAHUN-TAHUN awal, pascaprahara 1 Oktober 1965, kondisi sosial dan politik di Indonesia cukup meresahkan.Perburuan masih berlanjut pada mereka yang diduga terlibat dan menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagaimanapun, tahun-tahun kelam itu menjadi bagian dari perjalanan sejarah Indonesia.
“Perburuan sisa-sisa simpatisan PKI masih berlanjut hingga tahun 1968. Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, setiap malam aktivitas jaga di kampung-kampung semakin diperketat,” kenang Mbah Seno, saksi mata operasi Trisula di Blitar selatan, medio Mei - Juli 1968.
Setelah kejadian tahun 1965, banyak anggota maupun simpatisan PKI di beberapa daerah, mulai menyusun kekuatan. Blitar dipilih sebagai lokasi pemusatan massa dan gerakan.
“Sebenarnya keberadaan aktivitas ini sudah diketahui dan masyarakat yang kontra dengan PKI, dan telah bekerja sama dengan tentara,” imbuh Mbah Seno.
Sementara itu M Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang, menuturkan, “sebelum terjadi operasi Trisula, sebagai tindakan pembersihan terhadap sisa-sisa PKI, tentara telah mengirimkan pasukan yang menyamar sebagai pedagang. Mereka banyak menghabiskan waktu di warung-warung dan menggali informasi dari warga sekitar.”
Operasi pembersihan sisa-sisa PKI tahun 1968 itu dipimpin Kolonel Witarmin, Komandan Brigif Linud 18 Trisula. “Sebelum operasi dilaksanakan, warga sudah diberitahu. Jumlah tentara cukup banyak saat itu, seingat saya mulai dari Tulungagung sebelah barat, hingga perbatasan antara Blitar dan Malang sudah dipagar betis. Tiap beberapa meter, ada tentara dan warga yang bergerak bersama menuju satu titik di Blitar selatan,” kenang Mbah Seno.
M Dwi Cahyono mengimbuhkan, sebelum dimulai operasi, biasanya ada sandi yang digunakan. “Untuk memulai operasi, biasanya ada kode rahasia yang digunakan.Salah satunya, banyak burung yang dilepas di suatu daerah. Itu menandakan keberadaan anggota PKI di tempat tersebut,” tuturnya.
Gerakan operasi tersebut menuju satu tempat, yaitu di Desa Bakung, Blitar. “Saya mengikuti perjalanan kaki sepanjang 40 kilometer waktu itu, dan anggota PKI yang berhasil ditangkap, dikumpulkan di lapangan Desa Bakung,” kenang Mbah Seno.
Lapangan yang menjadi saksi bisu Operasi Trisula itu masih ada dan di sampingnya berdiri monumen megah sebagai penjaga memori peristiwa tersebut. Bangunan dengan tetenger Monumen Trisula ini diresmikan Letjen M Jasin pada 18 Desember 1972.
Cerita tentang Operasi Trisula tentu tak cukup bila hanya digali dari informasi yang ada di monumen tersebut. Justru tutur lisan dari para pelaku peristiwa dan hasil riset sejarawan, setidaknya dapat membangkitkan imajinasi historis dalam memahami sebuah peristiwa.