Opini

NU Menjawab Senjakala Toleransi

NU seolah ingin memperingati bahwa gerakan yang ramah sekaligus progresif mula-mula harus diawali dengan pembenahan spiritual, ke-dalam....

surya/irwan syairwan
Ratusan Ribu Warga NU Jatim memenuhi GOR Delta Sidoarjo dalam acara Istighotsah Kubro, Minggu (9/4/2017). 

Oleh : Rendy Pahrun Wadipalapa, Pengajar pada FISIP Universitas Airlangga, Warga Nahdlatul Ulama

Pada Ahad, Minggu, 9 April 2017, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur punya hajat besar: istighotsah kubro. Digelar di GOR Sidoarjo,  ratusan ribu nahdliyin hadir memanjatkan doa. Jumlah ini sekaligus mengonfirmasi istilah “kubro” yang berarti besar.

Istighotsah secara etimologis berarti mohon pertolongan, melalui rangkaian doa dan wirid untuk meminta petunjuk atas permasalahan yang dihadapi.

Dalam manuskrip bacaan istighotsah yang penulis terima dari PWNU Jatim, tertulis di sana bahwa tujuan dari hajat ini adalah “…demi tegaknya NKRI, mewujudkan keadilan ekonomi, keadilan hukum dan keadilan politik demi kemaslahatan bangsa”.

Garis bawah harus ditoreh mula-mula pada frasa “tegaknya NKRI”, sekurang-kurangnya karena tiga hal besar.

Pertama, meledaknya politisasi Islam dan Islam politik ke permukaan akhir-akhir ini. Rangkaian gerakan beruntun dan demonstrasi massif belakangan membuktikan eratnya hubungan antara dunia politik dan Islam sebagai kesatuan yang tak terpisah. Gerakan ini membawa serta semangat intoleransi yang menolak semua kompromi dan kesepakatan hidup bersama, lewat provokasi baik melalui media sosial virtual maupun demonstrasi langsung.

Kedua, tumbuh-kembang intoleransi itu terlambat diantisipasi sehingga mengacaukan psikologis publik, bahkan dalam kalangan Islam sendiri. Terjadi kebingungan tentang tafsir satu ayat dari kitab suci ihwal pemimpin politik ideal, yang memancing pertengkaran sosial dan membekukan kohesi masyarakat yang selama ini cair. Kemelut ini belum menemui tanda-tanda akan selesai hingga detik ini.

Ketiga, rangkaian persoalan intoleransi dan perpecahan umat ini adalah aib bagi siapapun yang berkomitmen dalam menjaga keutuhan, tak terkecuali NU, yang dikenal lantaran punya nafas panjang dalam mengampanyekan ajaran moderat yang ramah. Maka, meruap luasnya intoleransi tidak lain merupakan ancaman langsung bagi NU yang mengusung Islam wasathi (moderat).

Permintaan tolong pada Tuhan lewat istighotsah kubro ini sesungguhnya harus dimaknai dalam upayanya menjawab tiga hal di atas.

Demonstrasi Spiritualitas

Pertemuan besar jamaah ini secara tak langsung merajut dan menguatkan ikatan yang mengendur, karena perbedaan preferensi politik, kecemburuan sosio-ekonomi, atau lainnya. Maka, tak berlebihan andai istighotsah juga disebut sebagai momentum rekonsolidasi sosial sekaligus spiritual.

NU seolah ingin memperingati bahwa gerakan yang ramah sekaligus progresif mula-mula harus diawali dengan pembenahan spiritual, ke-dalam, bukan meledakkannya ke-luar, lewat beragam demonstrasi.

Istighotsah ini pun juga dapat dimaknai sebagai demonstrasi, tapi ia tidak ditujukan untuk meladeni provokasi politik, juga tidak dalam urusan dukungan atas poros kekuasaan tertentu. Istighotsah adalah demonstrasi spiritualitas dan refleksi kematangan berpikir yang memusatkan perhatian kepada hubungan diri sendiri dan Tuhan, yang dihubungkan dengan doa dan kepasrahan batiniah. Tak ada yang lebih intim dari doa, sehingga ia dipilih agar seluruh kepentingan di luar relasi manusia dan Tuhan adalah nisbi belaka.

Namun demikian, adakah semua hal ini telanjur terlambat? Sedangkah NU memerankan pahlawan kesiangan?

NU punya sejarah dalam darahnya sebagai organisasi yang erat pula irisannya dengan politik, tapi kita melihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir NU sangat menjaga jarak. Psikologis keberjarakan NU dan dunia politik inilah yang meningkatkan kehati-hatiannya dalam mengambil sikap. Sebab, dalam ketajaman konfliktual sebagaimana yang kini masyarakat alami, semua aktifitas paling netral sekalipun dapat ditafsirkan berbeda. NU menghindar dari risiko penafsiran liar semacam itu dan barangkali menunggu momen paling tepatnya untuk bertindak, sambil mencoba tetap netral.

Setidaknya, itu dibuktikan dengan komitmen NU untuk tak mengundang satu pun tokoh politik, apalagi elemen kepartaian, dalam istighotsahnya.

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved