Opini
LGBTQI, Kenapa Susah Diterima Masyarakat?
Selama ini, komunitas LGBTQI digambarkan sebagai komunitas marginal, minoritas, dan tertindas oleh media sehingga representasinya buruk di masyarakat.
Penulis:
Aulia Indira Kurniawati
Manager of Attraction OGIP
AIESEC in Surabaya 2016/2017
Pembahasan mengenai lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, intersex dan lain-lain masih sangat sensitif dibicarakan di Indonesia, bahkan penggunaan kata-kata tersebut masih saru diucapkan dan digunakan.
Terbukti munculnya pernyataan sejumlah tokoh politik untuk menon-aktifkan segala kegiatan yang berbau LGBTQI di awal tahun 2016.
Mengatasnamakan norma yang harus dijaga, pejabat tersebut secara tegas menolak segala hal yang berbau “sesama jenis”.
Tidak adanya perlindungan dari pemerintah menyebabkan kaum LGBTQI mendapat perlakuan kekerasan baik fisik maupun seksual, dan terkadang mereka dibuang oleh keluarganya sendiri.
Negara yang seharusnya melidungi hak individu malah merampas hal tersebut dan melakukan diskriminasi.
Padahal komunitas LGBTQI sudah ada semenjak bertahun-tahun yang lalu.
Tepatnya Maret 1982 terbentuk komunitas LGBTQI di Indonesia bernamakan LAMBDA lantas diikuti oleh terbentuknya GAYa Nusantara pada Agustus 1987 di Surabaya.
Individu yang tergabung ke dalam komunitas ini termasuk ke dalam anggota feminisme radikal, sebab feminisme radikal mempermasalahan institusi-institusi keluarga/perkawinan dan sistem patriarki yang menurut mereka adalah sumber penindasan dari perempuan oleh pria.
Salah satu aliran feminisme radikal adalah lesbian.
Feminisme radikal tidak bisa diterima masyarakat karena dianggap paham dan teorinya terlalu keras dan ekstrim .
Komunitas LGBTQI susah diterima oleh masyarakat karena dianggap hubungan sesama jenis tidak bisa menyelesaikan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki.
Media memiliki dampak yang sangat penting dalam menyampaikan informasi dan pandangan terhadap hal ini.