Citizen Reporter
Mengenal Suparman Dalang Tunanetra dari Dusun Njibru Mojokerto
tangkai daun singkong sebagai wayang, kertas sebagai layar, sendok, garpu, dan seng sebagai pengganti gamelan, itulah modal Suparman berlatih ndalang
Reportase MOCH S HERDIANTO
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
ORANG mengenalnya sebagai Ki Suparman. Dalang wayang kulit kelahiran Dusun Njibru, Desa Belik, Kecamatan Trawas, Mojokerto, 30 tahun silam.
Berkecimpung dengan wayang kulit sejak usianya lima tahun. Lewat radio kecil yang setiap sabtu malam minggu menyiarkan budaya dari RRI Surabaya, Suparman tak pernah absen menyimaknya.
Atau, ia mendengarkan lakon wayang kulit dari pita kaset. Setidaknya dengan cara itulah Suparman cilik mulai jatuh cinta pada wayang kulit.
Secara fisik, Suparman memang tak beda dengan anak lainnya. Penglihatan yang tidak sempurna menjadikan Suparman lebih mengandalkan pendengarannya.
Kendati tunanetra, Suparman merasa itu semua bukan halangan baginya menjadi seorang dalang wayang kulit.
Suparman cilik memainkan tangkai daun singkong dan kertas sebagai pengganti wayang kulit dan layar. Sendok, garpu makan, dan seng, sebagai irama, saat belajar memainkan lakon.
Suparman pantang menyerah. Perjalanan hidupnya membawanya mengenal Agus Wiryo, dalang dari Mbale Panjang yang mendukung keinginan Suparman menjadi dalang.
Bukan sekadar dukungan. Dari dalang agus Wiryo inilah, Suparman mendapat keprak dan cempala, alat pemukul kotak wayang. Semangat Suparman kian membara.
Dalang otodidak ini pun mendapat besutan laras atau nada gamelan dari sang ayah. Di usia 13 tahun, akhirnya Suparman menerima tanggapan menjadi dalang dengan upah Rp 350.000 sekali pentas.
sejak saat itulah kepercayaan orang muncul saat menyaksikan Suparman tampil. Terbukti, keterbatasan bukan halangan untuk berkarya dan berpestasi.
Kendati sudah mendalang di sejumlah tempat dan pentas, bapak dari satu anak itu belum memiliki gamelan dan wayang kulit yang lengkap.
Bila ada permintaan mendalang, Suparman harus meminjam wayang kepada temannya. Bila tak ada permintaan mendalang, Suparman berganti posisi menjadi penabuh gamelan.
Suparman berharap diusia tuanya nanti ingin memberi kesempatan dan membagi ilmunya kepada generasi muda yang berminat pada wayang kulit.
Kendati Suparman mengakui bila mendalang tidak bisa dijadikan kegiatan sehari-hari, tetapi lebih untuk melestarikan budaya leluhur. Untuk itu ia siap menerima risiko yang ada, baik susah maupun senang, serta menerimanya dengan lapang dada.