Citizen Reporter
Menyingkap Tabir Perempuan (Jawa) Perkasa
pemahaman kita terhadap perempuan Jawa yang lemah lembut, elok namun berotak kopong, bukti tersanderanya pemikiran kita oleh sastra Kolonial..
Reportase : MN Lukmanul Khakim
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
fb.com/fahrul khakim
PEREMPUAN Jawa yang dikenal lemah-lembut ternyata menyimpan ambisi dan kekuatan tak terduga. Selama ini peran perempuan Jawa dalam perjuangan bangsa Indonesia sering disepelekan.
Hasil kajian sejarah baru-baru ini ternyata mengejutkan banyak pihak. Para perempuan Jawa seperti Kartini tak kalah hebatnya dengan tokoh dunia lainnya seperti Bunda Theresia, bahkan Aung San Suu Kyi. Kartini memiliki pola pikir visioner, jenis pemikiran dan tindakan yang melebihi zamannya sehingga perjuangannya masih terasa sampai kini.
Sayang hanya Kartini yang dikenang sejarah sebagai perempuan perkasa, padahal masih banyak perempuan perkasa asal Jawa yang belum dikenal dunia.
Diskusi buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad 18-19 karya Peter Carey dan Vincent Houben, Jumat (2/9/2016) memberi wacana baru tentang tabir perempuan Jawa. Diisi para pemateri, Peter Carey (sejarawan Universitas Oxford Inggris), Aji Prasetyo (komikus sejarah), dan Nurenzia Yanuar S (kandidat Ph.D Universitas Leiden Belanda).
Suasana kafe pustaka Universitas Negeri Malang pun lebih meriah dari biasanya karena membanjirnya peserta sampai meluber ke jalanan. Terlihat jelas antusias peserta mengenai peran para perempuan perkasa dari Jawa.
Peter Carey yang fasih berbahasa Indonesia menceritakan berbagai peran perempuan Jawa dimulai dari perjuangan heroik tujuh perempuan istri Diponegoro. Para perempuan yang mendorong dan memberi kekuatan perjuangan panjang Diponegoro melawan Belanda.
Autotype Diponegoro ialah Kartini. Perjuangan mereka memiliki benang merah yang sama yaitu berakhir tragis walau inspiratif. Istri kontrak dan perempuan penghibur menawarkan petualangan sensual bagi dunia barat masa kolonial Belanda. Kiprah istri kontrak dan perempuan penghibur ternyata menjadi inspirasi pelukis-pelukis terkenal, antara lain William Daniel.
Ratu Ageng, permaisuri Pakubuwono VI dan ibusuri Pakubuwono IX diasingkan ke Ambon karena melarang modernisasi di kalangan keraton demi mempertahankan adat istiadat dan kearifan lokal. Dalam dunia kolonial, perempuan tak punya tempat di kalangan umum karena hanya ditempatkan di ranah pribadi.
Nyi Ageng Serang salah satu keturunan Diponegoro justru pernah menjadi panglima perang dan berpengaruh di kalangan keraton. Sampai peran Islam pada perempuan Indonesia akhirnya membuka babak baru, ditandai dengan berdiri Sekolah Diniyah Putri tahun 1915 di Sumatera Barat.
Renzi yang membedah buku Peter terpukau dengan gambar sampul buku yang menggambarkan tragedi mengerikan tapi dilukis dengan indah.
Lukisan tentang eksekusi istri Amangkurat itu seolah ingin mengatakan bahwa perempuan Jawa itu penuh tanggungjawab atas segala tindakannya. Selama ini para cendekiawan dan penulis barat cenderung melihat suku Jawa sebagai suku lemah dan lembut dari sudut pandang orientalisme.
Berotak Kopong
Perempuan Jawa sebagaimana dikutip dari buku sastra kolonial berjudul Hindia Suci menerangkan tokoh Raden Ayu seperti boneka cantik yang meniadakan keberadaannya, tipe perempuan elok tapi berotak kosong.
Pandangan barat yang selama ini membelenggu pandangan kita sendiri sebagai warga Indonesia terhadap perempuan Jawa. Padahal para perempuan Jawa juga berperan dalam pemberontakan dan pengatur keuangan.
Aji Prasetyo menyimpulkan benang merah mengenai peran perempuan Jawa yang ternyata luar biasa besar. Peran besar perempuan Jawa ini terabaikan karena kombinasi budaya patrilinial dan sistem kolonial yang pernah bercokol selama ratusan tahun di Indonesia.
Di balik kejayaan tokoh laki-laki terkemuka seperti Diponegoro, pasti ada sosok-sosok perempuan hebat yang menopang kehidupan lahir-batinnya.
Banyak jasa perempuan Jawa yang belum tercatat sejarah menunjukkan bahwa perjuangan mereka setara dengan kaum pria. Refleksi dari kegiatan ini selayaknya menjadi motivasi baru bagi para perempuan Indonesia lainnya untuk terus berjuang melalui bidang masing-masing demi kemajuan bangsa.