Berita Gresik
Wisata Mangrove di Pulau Bawean Makin Asyik Berkat Kerja Keras Komunitas Ini
#GRESIK - Sambil naik Jukung, wisatawan dapat menikmati keindahan Pulau Noko Selayar dari kejauhan yang berpadu dengan Sungai Rujing dan laut.
Penulis: M Taufik | Editor: Yuli
SURYA.co.id | GRESIK - Pantai di Desa Daun, Kecamatan Tambak, Kabupaten Gresik dulunya rusak parah akibat aktivitas penambangan pasir dan menebangan pohon mangrove secara ilegal. Tapi sekarang, pantai di Pulau Bawean itu berubah menjadi ekowisata mangrove yang eksotis.
Tidak mudah untuk menemukan hutan mangrove di Desa Tambak. Dari jalan utama penghubung Kecamatan Tambak dan Sangkapura, terlebih dulu masuk gang sekitar 1 kilometer, kemudian harus menyusuri pematang sawah yang jauhnya juga sekitar 1 kilometer.
Kendati demikian, ekowisata mangrove ini tetap menarik perhatian wisatawan asing maupun domestik yang berkunjung ke Bawean.
"Kalau pengen cepat dan mudah, lebih baik naik ojek," kata Dirman Fauzi, warga setempat.
Setelah sampai di area hutan mangrove, wisatawan bukan hanya bisa menikmati keindahan hamparan pasir putih di bibir pantai yang ditumbuhi jutaan mangrove, tapi juga bisa menyusuri sungai di antara hutan mangrove itu menggunakan jukung, perahu kecil yang hanya bisa ditumpangi tiga orang.
Sambil naik Jukung, wisatawan dapat menikmati keindahan Pulau Noko Selayar dari kejauhan yang berpadu dengan Sungai Rujing dan laut. Plus ada pemandangan dua bukit yang mengapitnya, Tambelang dan Tappur Pariuk.
Tarif naik perahu keliling hutan mangrove itu hanya Rp 25.000 per orang. Itu pun sudah mendapatkan dua pohon mangrove yang harus ditanam di sana. Ini merupakan upaya pihak pengelola untuk mengajak wisatawan ikut andil dalam pelestarian lingkungan.
Bagi wisatawan yang ingin lebih, cukup membayar Rp 400.000 bisa mendapat paket plus snorkling.
"Luar biasa, dengan naik perahu kita juga bisa nenikmati indahnya pemandangan laut yang berpadu dengan keindahan gunung dan hutan mangrove," kesan Wakil Bupati Gresik Muhammad Qosim saat berkunjung ke sana bersama istri dan rombongan beberapa waktu lalu.
Ketika itu, Qosim dan istri naik Jukung berdua dan yang menjadi sopir atau mendayung perahunya adalah Subhan, Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) Hijau Daun.
"Kami mengapresiasi mas Subhan dan kawan-kawannya. Berkat mereka, tempat ini menjadi Ekowisata Mangrove yang luar biasa," sambung Qosim.
Pokwasmas Hijau Daun merupakan kumpulan para aktivis lingkungan yang mengelola Mangrove di Desa Daun.
Anggotanya ada 38 orang, dan semuanya merupakan warga setempat. Merekalah yang beberapa tahun belakangan mengelola mangrove tersebut.
Berkat kerja keras mereka, Pokwasmas Hijau Daun terpilih menjadi yang terbaik di Jawa Timur. Dan sekarang, mereka menjadi wakil Jawa Timur untuk penilaian tingkat Nasional.
"Prestasi ini sekaligus menjadi lecut bagi kami untuk semakin baik dalam mengelola hutan mangrove di desa kami," kata Subhan.
Menurut Subhan, luas mangrove yang ditanami mencapai sekitar 35 hektar. Dan yang masih dalam proses pengembangan ada 25 hektar.
Ada sembilan jenis pohon, mulai Nipah, Yinjang, Api-api, Nyiri dan sejumlah pohon mangrove lain.
Diceritakannya, upaya mengelola mangrove tersebut berawal dari keprihatinan masyarakat terhadap pantai yang rusak akibat penambangan pasir dan penebangan pohon secara ilegal. "Waktu itu sudah terjadi abrasi besar-besaran.
Saat laut pasang, berhektar-hektar sawah warga rusak dan tidak bisa panen," kisah Subhan.
Tahun 2008 atau sekitar sepuluh tahun lalu, para pemuda dan masyarakat Daun sepakat untuk memerangi pembalakan liar dan mulai menanam mangrove guna melestarikan alam mereka. Dengan komitmen yang kuat, upaya itu berhasil meski sempat mendapat perlawanan dari sejumlah pihak.
Hingga setahun lalu, Mangrove Desa Daun berkembang menjadi edukasi wisata. Selain menarik perhatian wisatawan, juga berhasil menarik kepedulian pemerintah dari tingkat kabupaten sampai provisi.
Bahkan, sekarang ini sudah ke level nasional karena Hijau Daun merupakan wakil Jatim di tingkat nasional.