Citizen Reporter
Mengenalkan Roman Picisan di Sekolah Dasar
lepas dari pro kontra, mengajarkan karya sastra picisan kepada siswa sekolah dasar, semakin dini mengenalkan estetika sedari muda...
Reportase : Ardi Wina Saputra
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang
BELAJAR sastra seperti halnya puisi, pantun, dan cerita pendek sejatinya sudah diajarkan sejak di sekolah dasar. Pertanyaannya adalah apakah benar sastra yang diajarkan tersebut telah benar-benar estetik? Apakahmungkin yang terjadi justru sebaliknya, penuh muatan politis?
Topik menyengat ini sengaja diciptakan dalam diskusi bertajuk Estetika Sastra Indonesia-Melayu di Luar Korpus Resmi, Kamis (19/5/2016) di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang. Pemantik diskusi ini adalah pengajar sastra di FIB Universitas Brawijaya, Yusri Fajar dan Dr Azhar Ibrahim Alwee PhD dari National University of Singapore.
Menurut Azhar, pembelajaran sastra yang diajarkan dalam kelas itu terkesan masih sangat formalistik. Nilai-nilai estetika yang dicapai berhenti pada tataran aspek kebahasaan saja, padahal estetika tidak sesederhana itu.
“Berbicara nilai estetik, juga berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan, termasuk juga nilai pada manusia yang keberadaannya termarginalkan,” tegas Azhar.
Menanggapi hal tersebut, Yusri mengatakan, estetika sebenarnya dibagi menjadi dua hal, estetic of identity dan estetic of opotition. Estetic of identitiy merupakan estetika yang selama ini dikenal sebagai pakem tradisional, nilai-nilai moral dalam cerita, dan puisi serta pantun yang sudah jelas isi serta teknik penulisannya.
Estetic of opotition merupakan karya yang sebenarnya mendekonstruksi keberadaan karya sastra yang sudah mapan. Tidak jarang, karya yang masuk golongan ini berusaha keluar dari pakem-pakem pada zamannya.
Yusri mencontohkan Bumi Manusia-nya Pramodya Ananta Toer dan Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan.
“Anehnya karya yang mengandung estetic of opotition ini justru yang memenangkan banyak penghargaan, seperti novel Cantik Itu Luka yang baru saja mendapat penghargaan internasional,” papar Yusri.
Melihat paparan fenomena tersebut, sudah saatnya bagi para pengajar sastra mulai melek estetika sastra. Alangkah baiknya apabila siswa mulai diperkenalkan dengan karya sastra picisan dengan bimbingan guru tentunya.
Pada dasarnya, karya-karya yang memuat nilai estetic of opotition itu mengangkat nilai-nilai manusia yang posisinya terpinggirkan. Sastra dijadikan sebagai sarana pembelaan sekaligus merepresentasikan kaum terpinggirkan.
Melalui kemampuan merepresentasikan tersebut, siswa secara langsung belajar berempati pada sesama dan menumbuhkan rasa kepekaan sosial. Keberhasilan estetika sastra menurut AA Teuw adalah adanya resepsi pembaca terkait dengan keindahan.
Ketika pembaca mampu menangkap keindahan yang bukan hanya dari kata namun juga tema, pasti akan ada gerak empati yang bersifat masif sebagai respons penyejahteraan masyarakat terpinggirkan.
Tema-tema mengenai kasus serta fenomena sosial harusnya tidak ditutup-tutupi melainkan dibuka dengan edukatif dan dijadikan sebagai sarana solutif dalam pembelajaran sastra di kelas.
Apabila siswa diajarkan untuk mengaplikasikan kedua tipe estetika sastra sejak dini, bukan tidak mungkin semakin banyak buah karya sastra picisan ciptaan sastrawan dalam negeri.