Tata Kota

Begini Kehidupan Kaum Miskin Kota Malang di Kolong Jembatan

“Untuk listrik dan air kami nyalur ke kampung. Tiap bulan kami bayar Rp 20.000 ke pengurus RW untuk listrik dan air,” katanya.

Penulis: Samsul Hadi | Editor: Yuli
SURYA.co.id/Hayu Yudha Prabowo
KOS-KOSAN - Penghuni kos bersantai di rumah kos-kosan bawah jembatan Gadang, Kota Malang, Selasa (24/3/2015). Sebanyak 15 keluarga tinggal di tempat kos-kosan ini dengan membayar Rp 80.000 sampai Rp 100.000 per bulan. 

SURYA.co.id | MALANG – Bangunan rumah petak semi permanen tidak hanya berada di bawah Jembatan Gadang, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

Di sejumlah jembatan lain di Kota Malang juga terdapat bangunan rumah petak semi parmanen di bawahnya. Penghuninya kaum miskin kota.

Seperti yang terlihat di bawah Jembatan Brantas, Kelurahan Klojen, Kota Malang. Sedikitnya ada sembilan rumah petak semi permanen di bawah jembatan peninggalan Belanda itu. Bangunan rumah petak berukuran sekitar 2 meter x 2 meter itu berdindingkan tripleks dengan atap terpal.

Rumah petak itu dibangun di lahan kosong yang berada di bawah jembatan. Seperti di bawah Jembatan Gadang, penghuni rumah petak di bawah Jembatan Brantas rata-rata bekerja sebagai pemulung dan pengamen.

Setiap malam mereka tidur di rumah petak tersebut. Bedanya dengan di bawah Jembatan Gadang, para penghuni rumah petak di bawah Jembatan Brantas tidak harus membayar uang kos.

Seorang penghuni rumah petak di bawah Jembatan Brantas, Indahwati mengatakan sudah bertahun-tahun tinggal di rumah petak yang berada di bawah jembatan. Wanita asal Dampit, Kabupaten Malang, itu tinggal di rumah petak itu bersama suaminya, Budiono. Dia dan suaminya bekerja mencari barang bekas.

“Untuk listrik dan air kami nyalur ke kampung. Tiap bulan kami bayar Rp 20.000 ke pengurus RW untuk listrik dan air,” katanya ditemui, Kamis (26/3/2015).

Indah memang tidak punya rumah di Kota Malang. Karena setiap hari dia dan suaminya harus kerja mencari rosokan di Kota Malang, akhirnya mereka memilih tinggal di bawah jembatan. Meski bahaya, menurutnya tinggal di rumah petak bawah jembatan lebih murah karena tidak perlu membayar uang kontrakan. “Tinggal di sini gratis,” ujarnya.

Pemilik rumah petak lainnya, Midi mengatakan dulu juga lama tinggal di bawah Jembatan Brantas. Tetapi, sekarang ia sudah memiliki rumah di wilayah Polehan dan tidak lagi tinggal di bawah jembatan. Rumah petak miliknya di bawah jemabatan hanya ia gunakan untuk menyimpan barang bekas saja.

“Saya enam tahun tidur di bawah jembatan ini, tapi sekarang sudah tidak lagi. Setiap hari saya pulang ke rumah di Polehan. Di sini hanya untuk menyimpan barang bekas,” katanya.

Fenomena rumah petak di bawah jembatan memang banyak di Kota Malang. Bahkan ada rumah petak di bawah jembatan yang disewakan. Tarif sewa rumah petak di bawah jembatan bervariasi mulai Rp 80.000 per bulan sampai Rp 100.000 per bulan. Misalnya, di bawah Jembatan Gadang. Di bawah jembatan itu sedikitnya ada 15 rumah petak semi permanen. Penghuni di rumah petak itu harus bayar uang sewa.

Hal sama terjadi di bawah Jembatan Kahuripan. Sedikitnya ada delapan rumah petak semi permanen di bawah jembatan itu. Penghuni di rumah petak di bawah Jembatan Kahuripan juga harus membayar uang sewa. Malah, informasinya, di rumah petak yang ada di bawah Jembatan Kahuripan digunakan untuk praktik prostitusi.

Di bawah Jembatan Majapahit juga terdapat bangunan rumah petak semi permanen. Ada lima bangunan rumah petak semi permanen di bawah Jembatan Majapahit. “Mereka bayar uang sewa ke orang yang berada di Pasar Burung Splindid. Kalau yang di bawah Jembatan Kahuripan itu malah digunakan untuk prostitusi,” kata sumber yang enggan disebutkan namanya.

Kepala Satpol PP Kota Malang, Agoes Edy Proetanto mengaku belum menetahui soal adanya bangunan rumah petak semi permanen di bawah jembatan yang disewakan. Menurutnya, bangunan rumah petak di bawah jembatan itu merupakan bangunan liar. “Saya belum tahu soal itu, nanti kami coba cek ke lokasi,” katanya.

Dikatakannya, untuk melakukan penertiban bangunan rumah petak semi permanen di bawah jembatan, Satpol PP harus berkoordinasi dengan PT Jasa Tirta. Sabab, kawasan di bantaran sungai menjadi wewenang dari Jasa Tirta. “Kami tidak bisa langsung melakukan penertiban, harus koordinasi dengan pemilik wilayah,” ujarnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved