Yuk Cangkruk di Warung Empati

Setiap patah kata pembicara di warung empati ini didengar hikmat dan ditatap santun oleh pendengarnya tanpa di sela bunyi handphone!

Editor: Tri Hatma Ningsih
zoom-inlihat foto Yuk Cangkruk di Warung Empati
Indra Kristika

Oleh : Indra Kristika
Guru di SMK Mahardhika Surabaya
indrakristika@gmail.com

Desa Bubulan, Kecamatan Bubulan, Bojonegoro. Sebuah desa permai di tengah hutan dengan ketenangan khas desa dan keramahan penduduknya. Kurang lebih delapan kilometer dari taman wisata Dander, Bubulan seperti putri tidur yang siap untuk dibangunkan.

Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan diri dari bertani dan berladang. Kehidupan agraris ini yang melatarbelakangi para penghuni desa sehingga nuansa ketenangan, kedamaian dan ketentraman kental terasa dalam keseharian.

Mereka mencintai alam dengan cara yang sangat sederhana. Mencintai agama yang mereka anut juga dengan cara yang sederhana. Begitu kuatnya kesederhanaan tersebut sehingga deru pembangunan desa tetangga yang hiruk-pikuk dengan pengeboran minyak dan gas bumi tak begitu mempengaruhi pola kehidupan sehari-hari.

Sebuah warung kopi (sangat sederhana) berdinding kayu bekas, ditambal daun-daun jati kering berdiri di dekat hutan. Tempat duduknya sederhana. Potongan bambu disusun seperti bangku dan diikat dengan kulit pohon diperkuat pasak kayu. Tak ada sepotong paku pun menempel di bangku tersebut. Tetapi kuatnya tak kalah oleh kayu lain.

Sebuah meja kayu sederhana dipenuhi kerupuk, kudapan khas desa, ketela rebus dan beberapa sisir pisang. Di langit-langit warung, tergantung ikatan-ikatan jagung mewarnai kesederhanaan warung.

Aroma kopi dan teh amat terasa begitu masuk warung. Entah ini permintaan pasar atau tata cara penduduk daerah ini, kopi dan teh langsung direbus bersamaan. Begitu mendidih, baru diberi gula dan dituang ke gelas kecil pesanan konsumen. Bisa dibayangkan, begitu sedapnya kopi dan teh ini karena taste kopi atau teh sudah menyatu ke dalam air.

Beberapa penduduk yang akan berangkat ke sawah atau ladang, menyempatkan diri untuk sekadar ngopi atau sarapan ketela rebus. Tidak ada yang istimewa memang dalam hal penyajian, tetapi kekuatan utama malah timbul dari kesederhaannya. Obrolan-obrolan politik tak sampai menyentuh masuk dalam ketersinggungan setiap penggagasnya. Sawah, keluarga dan handai taulan lebih mewarnai setiap percakapan.

Justru itulah, tanpa dibatasi oleh BB, whatsapp, facebook atau segala aplikasi lainnya, setiap percakapan terasa bermakna. Setiap yang berbicara langsung akan didengarkan oleh yang lain dan selalu ditatap dengan ramah oleh lawan bicara. Hal ini sangat berbeda dengan warung-warung di kota. Sambil berbicara, tak jarang setiap pembicara sambil memandangi BB dan HP keren berisikan media jejaring social sehingga percakapan tak lagi punya makna. Hebat, sebuah warung yang sederhana mampu memberikan pembelajaran empati secara tidak langsung ke setiap pengunjungnya.

Sumber: Surya Cetak
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Publikasikan Karya di Media Digital

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved