Kesenian China Bian Lian
Sepersekian Detik Topeng Berganti
A Shun sendiri bergabung komunitas Bian Lian di Jakarta yang anggotanya 10 orang.
Penulis: Marta Nurfaidah | Editor: Wahjoe Harjanto

SURYA Online, SURABAYA – Seperti Wayang Potehi, seni pertunjukan ini juga memakai kostum jubah ukuran besar dan topeng sebagai penutup wajah. Bedanya, Bian Lian dimainkan oleh manusia. Seni pertunjukan salin rupa asal China ini sudah ada sejak 300 tahun lebih, di masa Dinasti Qing.
Seni ini istimewa sebab pemainnya mampu mengubah tampilan wajah atau topeng mereka sangat cepat. Bahkan kedipan mata pun tak mampu menangkap proses perubahan tersebut.
“Wow!” seru Panji Anggara terkejut melihat perubahan topeng yang dilakukan A Shun ketika diajak berjabat tangan, Senin (27/1/2014).
A Shun adalah pemain Bian Lian yang belajar seni ini langsung di Sichuan, China selama 2013. Persiapan sebelum berangkat ke China sangat panjang. Selain mempersiapkan fisik, biaya, A Shun juga harus siap mental.
Foto diri dikirim terlebih dahulu ke China melalui internet. Tak disangka, ada permintaan mengukur tinggi badan dan ukuran baju dari sana. “Tetapi, yang dibolehkan mengukur harus dapat dipercaya menjaga rahasia ukuran tubuh saya,” kenang A Shun.
Beruntung salah satu saudara mempunyai usaha konveksi pakaian tradisional China. Si saudara ini juga kaget mengapa diminta menjaga rahasia. Lebih mengejutkan lagi bagi A Shun, ternyata saudaranya ini langsung bisa menebak kalau ukuran tubuh itu akan digunakan untuk belajar Bian Lian. “Lho? Itu kan tidak boleh dan berat untuk dipelajari,” kata saudara tersebut seperti ditirukan A Shun.
“Memang, Andy Lau saja mau belajar tidak diperbolehkan. Namun, kemudian diizinkan asal tidak dipertontonkan di hadapan orang,” kata A Shun, warga Sidotopo Wetan Indah, Surabaya ini.
Sampai A Shun bisa memainkan seni ini di depan penonton menjadi pertanyaan besar pula bagi dirinya. “Entah apa yang dipikirkan guru saya sehingga memperbolehkan saya memainkannya di depan publik. Kemungkinan besar karena dia memandang bahwa saya ‘bisa’ melakukannya,” paparnya.
‘Bisa’ di sini dimaknai sebagai orang yang mampu menjaga seni China kuno ini dengan baik. Bukan sekadar pamer tetapi turut melestarikannya. Tidak dipertontonkan di sembarang tempat dan acara tertentu.
Kostum pun harganya sangat mahal, mencapai Rp 50 juta lebih. Itu belum termasuk topeng. Banyak teman A Shun yang berpendapat kalau dia nekat. “Mereka bilang uang sebegitu besar lebih baik untuk membeli barang lain atau makanan,” imbuh A Fu, asisten A Shun.
Para pemain Bian Lian menggunakan topeng beraneka warna dan karakter. Setiap topeng mewakili satu karakter tokoh atau binatang. Tentu saja, mereka harus mengenal setiap karakter yang dimainkannya dengan baik karena akan mempengaruhi bentuk gerakan yang dilakukan.
Konon, Bian Lian menjadi tontonan khusus bagi keluarga raja yang berkuasa di daratan China. Pemainnya adalah satu keluarga yang menekuni opera kuno di China. Kemudian, secara turun temurun seni ini diwariskan hingga terbagi menjadi tiga aliran.
A Shun mengatakan dia diberi kesempatan belajar teknik free style oleh gurunya karena dia mempunyai latar belakang Wushu. “Guru saya memberi satu orang satu style untuk dipelajari. Dia bilang jurus atau gaya permainan tidak akan habis meskipun kehidupan berakhir,” ungkap lelaki yang sudah 15 tahun lebih menguasai Wushu ini.
Selain lelaki, pemain Bian Lian perempuan juga ada. Perbedaan terletak pada desain topeng yang hanya separo bagian wajah saja. Pemain Bian Lian di Surabaya lainnya hanya satu orang yang diketahui A Shun. “Saya tahu dia, dia tidak tahu saya,” ucapnya. Hal itu diketahuinya dalam suatu pertandingan Wushu.
A Shun sendiri bergabung komunitas Bian Lian di Jakarta yang anggotanya 10 orang. Menurutnya, di seluruh Indonesia pemain Bian Lian berkisar pada angka tersebut. Dalam setahun ini dia sudah tampil enam kali.
A Fu menambahkan murid Bian Lian tidak terbatas pada orang keturunan China, orang Barat juga ada yang belajar. Bian Lian akan ditampilkan pada perayaan Tahun Baru Imlek 2565 di Diamond Ballroom, Hotel Swiss-Belinn Manyar Surabaya, pada 30 Januari 2014.