Begini Jurus Mengatasi Anak CiBi
Anak Anda termasuk boca jenius dan berprestasi sehingga masuk kelas akselerasi? Tips berikut bisa mengarahkan agar mereka tak frustrasi.
Editor:
Tri Hatma Ningsih
Oleh : Ardi Wina Saputra
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Malang
c.ardi_7@yahoo.com
Demam Chery Bell dengan teriakan centil mereka yang khas melanda remaja Indonesia. Dalam dunia pendidikan CiBi juga menjadi slogan untuk menyebut anak cerdas istimewa berbakat istimewa. Anak tersebut serasa lebih spesial karena mereka tergolong siswa sangat cerdas dan biasanya dimasukkan dalam kelas atau program akselerasi.
Ternyata, guru seringkali menemui masalah psikologis perkembangan anak cibi ini. Masalah itulah yang diulas Evy Tjahjono, SPsi MGE. dan Nureva SPs MPsi dalam seminar nasional Peningkatan Kualitas Pendidikan Siswa CIBI/Gifted pada Program Akselerasi, Sabtu (6/10) di Universitas Negeri Malang (UM).
Nureva menyampaikan karakteristik siswa cibi bahwa hal positif paling dominan adalah mereka lebih cepat dewasa dalam berbahasa dan menelurkan ide serta mampu berpikir logis dan kreatif. Sisi negatifnya adalah, mereka bersifat terlalu prefeksionis sehingga memiliki emosi labil membuat mereka mudah frustasi. Selain itu, mereka juga sering sukar menjalin hubungan karena perbedaan intelektual.
Nureva mengingatkan kekurangan dari program akselerasi di Indonesia, salah satunya adalah percepatan pendidikan dari tiga tahun menjadi dua tahun hanya terjadi pada ranah kognitif namun tidak terjadi pada ranah afektif dan psikomotorik.
Anak cibi memiliki kepekaan moral yang tinggi sehingga apabila mereka menjadi pemimpin, mereka tak akan melanggar peraturan. Di Amerika, contoh Nureva, proyek yang prestisius dipimpin dari generasi cibi, bagaimana dengan Indonesia?
Evi Tjahjono menambakan, mengatasi masalah psikologi anak cibi adalah guru perlu melatihkan keterampilan mengelola emosi dan berbagi pengalaman tentang mengatasi kegagalan, agar anak tidak sering frustasi. Untuk menangani masalah sosial, guru perlu melatihkan kemampuan komunikasi, empati, kerjasama, dan mendorong mereka untuk bergaul dengan anak lain dalam berbagi hasrat, dorongan dan kemampuan.
Kemudian untuk menangani masalah prefeksionisme, guru perlu membantu siswa dalam konsultasi tentang target pribadi siswa, dan memberikan solusi yang realistis berupa action plansecara bertahap untuk mencapai tujuan yang diinginkan siswa.
Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini juga menganjurkan pada setiap sekolah untuk memberikan pelatihan pada guru yang mengatasi siswa cibi. Selain itu diferensiasi kurikulum dan layanan konseling dengan konselor yang memadahi juga merupakan fasilitas yang dianjurkan pada sekolah penyelenggara program akselerasi. Kelas akselerasi seharusnya menjadi pemenuhan kebutuhan bagi siswa cibi.
Jika dalam sekolah tersebut terdapat siswa yang cibi maka memang harus ada kelas khusus untuknya, tapi jika tidak ada, maka tak perlu siswa dipaksakan masuk kelas akselerasi. Filosofi pendidikan adalah memenuhi kebutuhan secara optimal.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Malang
c.ardi_7@yahoo.com
Demam Chery Bell dengan teriakan centil mereka yang khas melanda remaja Indonesia. Dalam dunia pendidikan CiBi juga menjadi slogan untuk menyebut anak cerdas istimewa berbakat istimewa. Anak tersebut serasa lebih spesial karena mereka tergolong siswa sangat cerdas dan biasanya dimasukkan dalam kelas atau program akselerasi.
Ternyata, guru seringkali menemui masalah psikologis perkembangan anak cibi ini. Masalah itulah yang diulas Evy Tjahjono, SPsi MGE. dan Nureva SPs MPsi dalam seminar nasional Peningkatan Kualitas Pendidikan Siswa CIBI/Gifted pada Program Akselerasi, Sabtu (6/10) di Universitas Negeri Malang (UM).
Nureva menyampaikan karakteristik siswa cibi bahwa hal positif paling dominan adalah mereka lebih cepat dewasa dalam berbahasa dan menelurkan ide serta mampu berpikir logis dan kreatif. Sisi negatifnya adalah, mereka bersifat terlalu prefeksionis sehingga memiliki emosi labil membuat mereka mudah frustasi. Selain itu, mereka juga sering sukar menjalin hubungan karena perbedaan intelektual.
Nureva mengingatkan kekurangan dari program akselerasi di Indonesia, salah satunya adalah percepatan pendidikan dari tiga tahun menjadi dua tahun hanya terjadi pada ranah kognitif namun tidak terjadi pada ranah afektif dan psikomotorik.
Anak cibi memiliki kepekaan moral yang tinggi sehingga apabila mereka menjadi pemimpin, mereka tak akan melanggar peraturan. Di Amerika, contoh Nureva, proyek yang prestisius dipimpin dari generasi cibi, bagaimana dengan Indonesia?
Evi Tjahjono menambakan, mengatasi masalah psikologi anak cibi adalah guru perlu melatihkan keterampilan mengelola emosi dan berbagi pengalaman tentang mengatasi kegagalan, agar anak tidak sering frustasi. Untuk menangani masalah sosial, guru perlu melatihkan kemampuan komunikasi, empati, kerjasama, dan mendorong mereka untuk bergaul dengan anak lain dalam berbagi hasrat, dorongan dan kemampuan.
Kemudian untuk menangani masalah prefeksionisme, guru perlu membantu siswa dalam konsultasi tentang target pribadi siswa, dan memberikan solusi yang realistis berupa action plansecara bertahap untuk mencapai tujuan yang diinginkan siswa.
Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini juga menganjurkan pada setiap sekolah untuk memberikan pelatihan pada guru yang mengatasi siswa cibi. Selain itu diferensiasi kurikulum dan layanan konseling dengan konselor yang memadahi juga merupakan fasilitas yang dianjurkan pada sekolah penyelenggara program akselerasi. Kelas akselerasi seharusnya menjadi pemenuhan kebutuhan bagi siswa cibi.
Jika dalam sekolah tersebut terdapat siswa yang cibi maka memang harus ada kelas khusus untuknya, tapi jika tidak ada, maka tak perlu siswa dipaksakan masuk kelas akselerasi. Filosofi pendidikan adalah memenuhi kebutuhan secara optimal.
Berita Terkait