Perjalanan Fifin
Sekali Nongkrong Dua Penyu Bertelur
Jalur menuju Pantai Sukamade, Banyuwangi, menuntut penumpang kendaraan 4WD waspada. Jaga keseimbangan jika tidak mau terpelanting.
Penulis: Endah Imawati | Editor: Endah Imawati
Dari Rajegwesi, Banyuwangi, kami (saya, Anez, Yogie, dan Lia) lanjut menuju Sukamade. Jalur makadam yang sangat rusak membuat penumpang seperti digebuki kanan dan kiri. Ini saatnya menguji keseimbangan badan supaya tidak merosot dari bangku.
Sepanjang jalan harus off road dan melewati tiga sungai. Salah satunya cukup dalam. Akan tetapi, dengan ketangguhan Greta –julukan untuk Taft milik Yogie dan Lia— serta keahlian driver (Yogie) serta co-driver (Lia), tidak ada medan yang tidak mampu dilewati. Setiap jalanan becek atau tancakan ekstrem, malah menjadi objek bagus buat saya jeprat-jepret Greta.
Di tengah perjalanan menuju Sukamade, ada sebuah surga kecil yang tersembunyi, Teluk Damai dan Teluk Hijau namanya. Kami harus menuruni bukit dulu dengan berjalan kaki sekitar 1 km untuk menuju Teluk Damai. Sesampai di sana, terhampar lautan biru dengan deburan ombak yang cukup keras, karena merupakan deretan Lautan Selatan, dengan batu karang yang besar-besar. Kami langsung exist di puncak batu dengan camera timer, say cheers….
Tak jauh dari sana, 600 meter berikutnya adalah Teluk Hijau. Itu lebih eksotis lagi tempatnya. Dengan pasir yang putih bersih, air laut yang kehijauan, dengan beberapa gugusan karang di sisi kiri, ditambah pantai yang masih cukup sepi, serasa menjadi surga milik kami. Kamera dimainkan, DSLR dan kamera BlackBerry, siap exist di dunia maya, cerita pada dunia, bahwa bukan hanya Thailand yang punya pantai cantik dan eksotis, Indonesia pun sebenarnya tidak kalah menariknya.
Lanjut lagi…. Kami begitu menikmati perjalanan off road ini. Sungai-sungai yang dikhawatirkan telah sanggup terlewati. Mulai Yogie berulah. Dengan sombongnya meremehkan medan yang dipikirkan ekstrem tadi.
Memang, saat di alam mulut dan sikap harus dijaga. Kesombongan Yogie dicobai oleh alam. Greta terjebak di sebuah lokasi yang sangat berlumpur, karena awalan yang salah dan ban belakang yang terpeleset. Mobil benar-benar tidak bisa jalan karena ban mobil sudah tidak ada pijakannya, sudah tertutup lumpur dan jalannya sangat licin. Kami cukup panik menghadapi situasi tersebut karena sangat jauh dari permukiman. Apalagi tidak ada sinyal di daerah itu.
Kami mencoba mengumpulkan daun-daun kering, batu dan batang-batang pohon untuk membantu sebagai pijakan ban mobil. Ditambah dengan dorongan akhirnya mobil terbebas dari isapan lumpur.
Di saat seperti ini, kekompakan diuji. Coba ada satu yang ‘mutung’ alias menyerah, duduk sambil menangis di pinggir jalan, atau bisanya cuma ngomel-ngomel, malah ribet jadinya.
Setelah melewati beberapa hektare perkebunan cokelat, sampai juga di Pantai Sukamade. Kami melapor dan izin untuk bermalam dan camping di sana. Anez paling hobi bersosialisasi dengan penduduk ataupun petugas setempat sekaligus menggali info kepariwisataan Indonesia yang siap dijual olehnya. Anez memang pemandu wisata dengan klien kebanyakan turis asing.
Daerah Sukamade, tempatnya masih begitu alami, dengan beberapa hewan liar yang masih berkeliaran. Kera, biawak, babi hutan, serta berbagai jenis serangga. Sebelum matahari terbenam, kami menyempatkan diri ke pantai. Karakter pantainya berbeda lagi kali ini. Pasirnya lebih hitam dengan garis pantai yang sangat luas.
Oh ya, dulu saya pernah ke sana beberapa tahun sebelumnya, ada sebuah rawa yang sangat eksotis di dekat sana, dan kabarnya masih ada buayanya. Sayangnya saat ini rawanya sudah kering. Terus, buayanya ke mana ya?
Dan sekarang saatnya pria bekerja memasang tenda serta menyiapkan api unggun, sementara saya dan Lia menyiapkan hidangan makan malam. Hmmm… satu hal kelemahan saya, tidak pandai memasak nasi tanpa rice cooker. Untungnya lauk dan sayurnya mak nyusssss… jadi bisa menutup anehnya rasa nasi. Maaf ya, Bro.
Inilah puncak acara dari segala perjuangan di jalan. Sekitar pukul 21.00 kami diajak petugas ke pantai. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, akhirnya muncul juga yang ditunggu. Primadona yang kalem itu mulai menggali lubang, kemudian ambil ancang-ancang sambil beberapa kali menelengkan kepala seolah memastikan keamanan. Lalu, ia mulai bertelur, bertelur, bertelur. Selesai mengeluarkan seluruh telur, dengan tenang pula penyu itu menimbun telur dengan pasir yang lembut. Lalu dengan kalem kembali ke pantai.
Kami sangat beruntung. Malam itu ada dua emak penyu yang bertelur. Penyu pertama bertelur 125 butir dan penyu kedua mengeluarkan 140 butir. Luar biasa. Tidak setiap hari orang yang sengaja menunggu mendapatkan prosesi bertelur itu. Kami bahkan mendapatkan dua penyu!
Setelah itu kami kembali ke tenda untuk beristirahat. Lelah di perjalanan terbayar lunas.