Memahami Makna Busana Adat Jawa
Mengenakan busana adat Jawa, ternyata ada beberapa pakem yang harus diikuti dan tidak asal pakai saja!
Penulis: Tri Hatma Ningsih | Editor: Tri Hatma Ningsih
oleh : Giati Anisah
(Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang)
Menyandang status sebagai suku Jawa, banyak hal yang terlupakan dari generasi muda sekarang. Contoh kecil, cara memakai pakaian adat Jawa. Mengingat pepatah Jawa 'ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana' pada Rabu (11/4) jurusan Sastra Indonesia Minor Jawa, Universitas Negeri Malang (UM) mengadakan pelatihan mengenakan pakaian adat Jawa di dosen UM, Karkono. Kegiatan tersebut sebagai sebagai respons positif menyusul pengadaan busana dan peralatan tari Jawa beberapa waktu lalu.
Pakaian adat Jawa yang dilatihkan penggunaannya adalah pakaian adat Jawa untuk menerima tamu. Layaknya pakaian yang digunakan menerima tamu pada pernikahan dan acara adat Jawa lainnya. Ternyata ada beberapa pakem yang harus diikuti. Tidak asal pakai saja. Pertama, batik lereng (batik standar yang digunakan untuk menerima tamu) harus dilipat kecil-kecil selebar dua jari. Lipatan itu berjumlah ganjil, antara lima atau tujuh lipatan. Sisa kain dibalutkan pada tubuh bagian bawah. Larik lereng pun harus mengarah ke kiri. Ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya pemakaian stagen. Pelipatan dan penggunaan stagen memiliki aturan tersendiri. Saat memakai stagen, gulungan harus ada di atas tangan. Sedang saat melipatnya gulungan ada di bawah tangan. Selendang panjang berwarna hitam ini difungsikan sebagai sabuk untuk menahan kain batik agar tak jatuh ketika dipakai. Juga untuk menahan agar seseorang tak bergerak terlalu banyak. Terutama bagi perempuan. Perempuan Jawa biasa memakai stagen hingga tiga bulan pasca melahirkan untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal kembali.
Setelah stagen diikatkan sampai habis, lapisan berikutnya adalah sabuk cinde. Sabuk cinde memiliki panjang kurang lebih dua meter. Lapisan berikutnya adalah epek timah. Ini juga masih semacam sabuk. Berupa kain beludru hitam berhiaskan monte. Pokok sabuk epek timah ada dua. Keduanya terbuat dari timah yang berat. Keris sebagai senjata orang Jawa diselipkan di antara sabuk cinde dibagian belakang. Kenapa dibelakang?
Ini mengandung filosofi jika orang Jawa tidak pernah menantang musuh. Tapi jika ada musuh menyerang, senjata sudah siap. Perlengkapan selanjutnya adalah blangkon. Penutup kepala khas Jawa ini berupa lipatan kain batik yang indah. Blangkon memiliki bendolan di bagian belakang. Ini menggambarkan jika orang Jawa tidak menyukai seseorang, maka ia akan memilih memendam ketidaksukaan itu. Tidak boleh ditampakkan.
Agar menambah kesan kepriyayian, tak lupa jas hitam berkancing kuningan digunakan. Jas ini dinamakan beskap. Beskap memiliki model yang berbeda dari jas kebanyakan. Bagian belakang beskap agak pendek. Ini memungkinkan keris terlihat saat tampak belakang.
Tak lengkap tanpa sepatu. Sepatu khas Jawa tidak menutupi tumit. Sepatu ini biasanya berwarna hitam polos. Atau bisa ditambah dengan hiasan-hiasan saat acara pernikahan. Begitulah pakaian adat Jawa untuk laki-laki. Rumit dan unik. Namun, mengandung beberapa filsofis dasar orang Jawa. Lalu apakah semua filosofi itu masih dipegang oleh orang Jawa sampai sekarang? Sepertinya pembaca bisa menafsirkan sendiri.
(Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang)
Menyandang status sebagai suku Jawa, banyak hal yang terlupakan dari generasi muda sekarang. Contoh kecil, cara memakai pakaian adat Jawa. Mengingat pepatah Jawa 'ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana' pada Rabu (11/4) jurusan Sastra Indonesia Minor Jawa, Universitas Negeri Malang (UM) mengadakan pelatihan mengenakan pakaian adat Jawa di dosen UM, Karkono. Kegiatan tersebut sebagai sebagai respons positif menyusul pengadaan busana dan peralatan tari Jawa beberapa waktu lalu.
Pakaian adat Jawa yang dilatihkan penggunaannya adalah pakaian adat Jawa untuk menerima tamu. Layaknya pakaian yang digunakan menerima tamu pada pernikahan dan acara adat Jawa lainnya. Ternyata ada beberapa pakem yang harus diikuti. Tidak asal pakai saja. Pertama, batik lereng (batik standar yang digunakan untuk menerima tamu) harus dilipat kecil-kecil selebar dua jari. Lipatan itu berjumlah ganjil, antara lima atau tujuh lipatan. Sisa kain dibalutkan pada tubuh bagian bawah. Larik lereng pun harus mengarah ke kiri. Ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya pemakaian stagen. Pelipatan dan penggunaan stagen memiliki aturan tersendiri. Saat memakai stagen, gulungan harus ada di atas tangan. Sedang saat melipatnya gulungan ada di bawah tangan. Selendang panjang berwarna hitam ini difungsikan sebagai sabuk untuk menahan kain batik agar tak jatuh ketika dipakai. Juga untuk menahan agar seseorang tak bergerak terlalu banyak. Terutama bagi perempuan. Perempuan Jawa biasa memakai stagen hingga tiga bulan pasca melahirkan untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal kembali.
Setelah stagen diikatkan sampai habis, lapisan berikutnya adalah sabuk cinde. Sabuk cinde memiliki panjang kurang lebih dua meter. Lapisan berikutnya adalah epek timah. Ini juga masih semacam sabuk. Berupa kain beludru hitam berhiaskan monte. Pokok sabuk epek timah ada dua. Keduanya terbuat dari timah yang berat. Keris sebagai senjata orang Jawa diselipkan di antara sabuk cinde dibagian belakang. Kenapa dibelakang?
Ini mengandung filosofi jika orang Jawa tidak pernah menantang musuh. Tapi jika ada musuh menyerang, senjata sudah siap. Perlengkapan selanjutnya adalah blangkon. Penutup kepala khas Jawa ini berupa lipatan kain batik yang indah. Blangkon memiliki bendolan di bagian belakang. Ini menggambarkan jika orang Jawa tidak menyukai seseorang, maka ia akan memilih memendam ketidaksukaan itu. Tidak boleh ditampakkan.
Agar menambah kesan kepriyayian, tak lupa jas hitam berkancing kuningan digunakan. Jas ini dinamakan beskap. Beskap memiliki model yang berbeda dari jas kebanyakan. Bagian belakang beskap agak pendek. Ini memungkinkan keris terlihat saat tampak belakang.
Tak lengkap tanpa sepatu. Sepatu khas Jawa tidak menutupi tumit. Sepatu ini biasanya berwarna hitam polos. Atau bisa ditambah dengan hiasan-hiasan saat acara pernikahan. Begitulah pakaian adat Jawa untuk laki-laki. Rumit dan unik. Namun, mengandung beberapa filsofis dasar orang Jawa. Lalu apakah semua filosofi itu masih dipegang oleh orang Jawa sampai sekarang? Sepertinya pembaca bisa menafsirkan sendiri.
Berita Terkait