Merunut Jejak Kampung Kungfu Kapasan
Kungfu, seni bela diri asal China, pernah menjadi babak penting bagi perkembangan sebuah kawasan Pecinan di Surabaya, yaitu Kapasan. Jejaknya pun masih ada sampai sekarang.
wiwit purwanto
Surabaya
“Lho, kampung Kapasan ini juga disebut Kampung Kung Fu, belum tahu kan?” ujar Bambang Irawan, Ketua LKMK Kelurahan Kapasan, ketika berbincang dengan Surya, Rabu (26/1).
Seperti halnya sekarang menjadi kawasan bisnis tersibuk di Surabaya, seperti itu pula lah Kampung Kapasan di masa kekuasaan Hindia Belanda. Ini tak mengherankan, karena Kampung Kapasan tidak jauh letaknya dari Pelabuhan Ujung Galuh (sekarang Tanjung Perak).
Karena menjadi pusat bisnis, Kapasan pun menjadi jujugan para saudagar dari berbagai benua yang masuk ke kawasan itu menggunakan kapal dengan menyusuri Kalimas.
Duit dan kekayaan yang dibawa para saudagar itulah yang kemudian menjadi daya tarik para penjahat, mulai dari begal hingga pencopet. “Tentu saja mereka tidak ikut berbisnis, malah mengganggu ketenteraman para pedagang di situ,” kata Bambang, yang berdarah campuran China-Madura itu.
Karena jumlah penjahat semakin banyak dan aksinya kian mengganggu, muncullah inisiatif warga setempat untuk mengambil langkah pencegahan. Mereka membentuk perkumpulan seni bela diri ala China atau yang kini kita kenal dengan sebutan kungfu. “Selain untuk membela diri, kungfu itu digunakan untuk memberantas para begal,” tutur Bambang.
Para pendekar itu tidak sendirian. “Pemerintah Hindia Belanda waktu itu juga membentuk pasukan pengaman, namanya Seksi 5,” kata Yudi Arifianto, pengurus RW IX Kapasan Dalam.
Seksi 5 ini pun masih punya jejak, yaitu kantor yang pernah menjadi Mapolres Surabaya Timur dan kini Mapolsek Simokerto.
Latihan biasanya dilakukan di dalam klenteng, atau di lapangan di belakang Klenteng Boen Bio. Dari situ muncul jagoan-jagoan kungfu tersohor, seperti Kui Yang dan Cing Hai.
“Lapangan basket ini saksi sejarah warga Kadal (Kapasan Dalam),” kata Bambang yang juga Sekretaris Takmir Masjid Rahman Donokerto ini.
Lapangan di Kapasan Dalam yang dicapai melalui gang sempit itu masih ada. Namun tidak ada lagi sabetan pedang atau tendangan di asah di situ, karena sudah menjadi lapangan basket dan tempat pertemuan warga. Di lapangan itu kini tiap pagi puluhan lansia senam bersama, Tai Chi dan Wai Tan Kung.
Sebenarnya jejak kungfu Kapasan ini tak hilang sama sekali. Kesenian barongsai dan liong (naga) menjadi buktinya. Memang, saat Orde Baru berkuasa, mereka tidak bebas mempertunjukkan keahliannya karena hanya bisa berlatih di dalam klenteng.
Namun awal tahun 2000, ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid memberikan kebebasan, aksi bela diri itu muncul lagi. Terutama saat Imlek, para ‘pendekar’ dari Boen Bio menampilkan seni barongsai dan liong di tengah Jl Kapasan dan keliling kampung.
Asal usul Kampung Kapasan sendiri bisa ditelusuri dari sebuah petilasan di kampung itu, yaitu makam Mbah Suro, atau Empu Suro atau Mbah Semedi yang diyakini sebagai putra Mbah Bungkul (Ki Ageng Supo) yang makamnya dikenal sebagai Taman Bungkul di Jl Raya Darmo. “Nah, Empu Suro inilah cikal bakal Kampung Kapasan,” tutur Yudi.
Makam ini sudah tiga kali dipindah. Pada awalnya makam terletak di Jalan Sulung, lalu pindah di Jalan Kapasari dan sekarang di Jalan Donokerto.
Dipindahnya makam tersebut bukan tanpa alasan, di Jalan Sulung, makam itu dipindah karena sering terjadi kecelakaan, saat di pindah di Jalan Kapasari juga demikian. “Malah sering terjadi kecelakaan kereta api,” katanya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan korban yang lebih banyak, makam dipindah ke Jalan Donokerto.
Pusat kegiatan warga Kapasan lainnya adalah punden di Kapasan Dalam yang dulunya berupa pohon trembesi raksasa yang akhirnya roboh. “Warga setempat selalu menggelar syukuran untuk minta keselamatan di punden itu bersamaan dengan Imlek dan digelar wayangan,” kata Hadi Kusumo, sesepuh Kapasan Dalam.
Berita Terkait