Wahyudin, Sukses dengan Bakso Gondrong, Bakso Intelek, Ada di Sekolah dan Kampus

SURABAYA - SURYA-Jika ada bakso menjadi sponsor reuni dan acara kesenian, bisa jadi itu Bakso Gondrong. Ikatan batin antara Bakso Gondrong dengan SMPN 35 dan SMAN 17 sangat kuat. Dari sanalah pentol bakso ini dimulai. Deretan rombong bakso berjajar di dekat mobil Opel Blazer kap terbuka. Sepi. Pintu rumah di Jl Pandugo hanya terbuka sedikit. Dari rumah inilah outlet dan rombong bakso yang sebenarnya bernama Bakso Perdana ini diputar. Tak heran bila pemilik bakso ini, Wahyudin, 34, yang memang gondrong, berutang budi pada dua sekolah itu. Di tempat itulah peruntungannya terbuka. Ayah dua anak ini nekat ke Surabaya karena di tanah kelahirannya, Trenggalek, dia tak mungkin mendapat pekerjaan layak. Maklum, Wahyudin hanya lulus SD. Di Surabaya dia bersama kakaknya bekerja pada orang lain. Cuma setahun karena tidak kerasan. Tahun 1994 dengan modal Rp 500.000 hasil utang sana-sini dia membuat dua rombong bakso untuk berdua. Hanya tersisa sedikit uang untuk berbelanja bahan bakso. ”Tiga tahun jualan dengan rombong, saya mengincar kantin di dekat SMPN 35. Ternyata di sana siswa dan guru sangat suka,” kata Wahyudin. Dengan percaya diri setahun kemudian dia membuka warung di belakang SMAN 17 Surabaya. Sosoknya yang ramah membuatnya disukai pelanggan. Warungnya jadi tempat nongkrong anak muda. Pasarnya memang anak muda meski pembeli dari berbagai kalangan datang. Mengikuti pelanggannya, Wahyudin pun membuka gerai baru di Jl Pucang, Unair, UPN, SMPN 13, SMPN 29, IPH, dan di dekat Stikomp. Dari semua outlet itu setiap hari harus tersedia 40-50 kilogram daging sapi. ”Alhamdulillah omzet tiap hari mencapai Rp 5 juta,” kata suami Umi Mahmuda ini. Sambil tersenyum dia bercerita, dari pentol dia bisa membangun rumah, sebuah mobil, tabungan untuk dua anaknya, dan rombong yang terus beranak-pinak. Saat ini dia memiliki 14 karyawan tidak termasuk sembilan yang berjualan keliling dan dibayar dengan sistem komisi. Sekarang sedang disiapkan 11 rombong lagi. Selain rasanya yang menurut anak-anak muda yummy, harganya benar-benar berpihak pada anak sekolah dan mahasiswa. Semua pilihan satu harga, Rp 600. Hanya bakso kikil yang istimewa, Rp 2.500. Apalagi pilihannya juga banyak, bakso urat, halus, kasar, bakso kikil, bakso puyuh, bakso hati sapi, bakso manis, siomay, gorengan bulat, dan gorengan mekar. Dalam varian menu, tak tercantum tahu. ”Belum berani karena duku sempat ada isu formalin,” kata Wahyudin yang buka dari Senin ke Senin agar tetap disambangi pelanggan. Meski begitu dengan rendah hati lelaki yang hobi memancing dan memelihara burung ini mengakui pesaingnya terkuat saat ini adalah Bakso Kepala Sapi. ”Manajemen mereka sangat bagus. Tetapi untuk rasa, saya berani diadu,” imbuhnya. Dekat dengan anak muda menjadi keuntungan karena merekalah yang menjadi ujung tombak promosi. Tetapi Wahyudin juga harus ekstrasabar menghadapi ulah beberapa yang nakal. ”Ambil 10 ngakunya makan lima pentol. Kalau bertemu yang nakalan dan mbujuki seperti itu, diikhlaskan saja. Yang seperti ini tak bisa dihindari,” katanya sambil berharap baksonya tetap disukai, berkembang, sehingga membuka lapangan pekerjaan. ”Yang penting menanamkan kebersamaan, kompak, dan rukun,” kata Wahyudin./YURINE DWI ANDITA
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved