Sanggar Agung Rumah Berbagai Umat
Meskipun penganut Budha, saya rajin ke klenteng. Ini untuk menjaga tradisi saja. Yang penting niat kita baik
Penulis: Miftah Faridl | Editor: Rudy Hartono
Bujangan 28 tahun itu mengaku baru enam bulan menjadi jemaat di Sanggar Agung Kenjeran, tempatnya beribadah. Dia penganut Budha tulen. Namun, di waktu yang senggang, Rudi masih menjaga tradisi leluhurnya dengan menyambangi klenteng.
"Meskipun penganut Budha, saya rajin ke klenteng. Ini untuk menjaga tradisi saja. Yang penting niat kita baik," ujar pemuda yang tinggal di Jalan Manyar Kertoarjo saat bincang-bincang dengan surya.co.id, Senin (21/1/2013). Setidaknya seminggu sekali dia datang ke klenteng untuk berdoa.
Dia menjelaskan, tidak semua umat Budha mau ke klenteng. Atau sebaliknya, tidak semua umat Kong Hu Chu yang mau beribadah di klenteng. "Ini masalah keyakinan. Kalau yang 'totok', jelas tidak mau," katanya seraya tertawa.
Selain penjaga gudang di Margomulyo itu, ada juga umat Kong Hu Chu yang datang sore kemarin ke Sanggar Agung. Cintya, lajang 25 tahun, tak kalah khusyuknya dengan Rudi. Bedanya, dia tidak membawa dupa lidi yang biasa disebut yosua sebanyak Rudi.
"Sebenarnya bukan karena mendekati hari raya Imlek sih. Tapi memang kalau deket dengan Imlek biasanya umat banyak yang datang," ujar gadis berkulit putih mulus itu.
Bukan hanya Kong Hu Chu dan Budha, Sanggar Agung juga rumah ibadah bagi penganut ajaran Tao. Prinsip ajaran ketiganya terangkum dalam ajaran Tri Dharma.
Ajaran ini pada era Orde Baru tidak bisa leluasa menggelar acara peribadatan. Baru setelah masa Presiden Abdurrahman Wahid, mereka bisa bebas berkespresi.
Sanggar Agung sendiri sudah berdiri sejak 1999. Namun, beberapa patung dewa sudah berada di sana sejak 35 tahun silam. Awalnya, Sanggar Agung berada di sebelah lokasi sekarang. Terhitung sudah tiga kali sanggar berpindah.
Bagi umat lain, sanggar ini juga menjanjikan kehidupan. Salah satunya Wahyuni, pengurus sanggar. Dia sudah 12 tahun 'mengabdi' di sanggar. Perempuan 40 tahun itu bahkan hafal betul ritual peribadatan bagi umat Tri Dharma. Padahal, Wahyuni mengaku sebagai pemeluk Islam yang taat.
"Saya diterima baik di sini meskipun berbeda kepercayaan. Sanggar ini seperti rumah saya sendiri. Hubungan kami semua di sini juga begitu erat," aku ibu satu anak yang memilih tinggal di rumah kontrakan di Jalan Karang Empat itu.
Masih kata Wahyuni, pengurus yang bekerja di sanggar juga ada yang memeluk agama Kristen. Semuanya berbaur sebagai simbol pluralisme. "Kita seperti keluarga. Kami melayani umat di sini dengan tulus. Begitu juga dengan umat di sini memperlakukan kami dengan baik," imbuhnya.
Saking dekatnya dengan ajaran Tri Dharma, Wahyuni sering menjadi pemandu bagi pengunjung yang ingin beribadah.