Hikmah Ramadan

BERSYUKUR YANG SESUNGGUHNYA

Editor: Deddy Humana
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Sekretaris MUI Jatim, Dr H Fauzi Palestine, M Ag.


KATA syukur secara bahasa berasal dari kata 'Syakara' yang berarti membuka, sebagai lawan dari 'Kafara' (kufur) yang berarti menutup. 

Sedangkan menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah SWT yang disertai dengan ketundukan kepadanya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Imam al-Qusyairi mengatakan, ”Hakikat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah SWT yang dibuktikan dengan ketundukan kepada-Nya. Jadi syukur itu adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah sebagai pemberi nikmat."

"Karena itu, dapat dikatakan bahwa syukur yang sebenarnya adalah mengungkapkan pujian kepada Allah SWT dengan lisan, mengakui dengan hati akan nikmat Allah SWT, dan mempergunakan nikmat itu sesuai dengan kehendak Allah SWT.”

Dalam kehidupan sosial, banyak orang secara ekonomi sangat cukup bahkan di atas rata-rata pada umumnya, namun hidupnya belum sampai pada kehidupan yang tenteram dan bahagia.

Hidupnya penuh dengan keluhan, penderitaan, kegalauan, bahkan kadang ada yang sampai bunuh diri. 

Ada pula orang yang secara ekonomi lemah bahkan berada di garis kemiskinan, tetapi hidupnya bahagia, tenang, dan penuh kedamaian.

Ada pula hidupnya sudah berada di garis kemiskinnan, kesehariannya juga masih jauh dari ketenangan. Seseorang yang secara fisik tak berdaya dapat berbahagia manakala tetap mau bersyukur kepadaNya. 

Dari sini dapat dipahami bahwa kondisi batin tidak bisa ditentukan oleh situasi ekonomi. Maka kalau kalau diteliti lebih intensif, ternyata bersyukur dapat menentukan kehidupan seseorang. 

Baik menyangkut ketenengan hidup bahkan yang kaitannya dengan meningkat dan melemahnya ekonomi.

Allah SWT telah berfirman:

Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha mengetahui (QS. An-nisa’: 147)

Secara sederhana, ayat di atas dapat dipahami bahwa siksaan Allah tidak diberikan kepada hamba yang bersyukur kepada-Nya. Tentu syukur yang dilandasi keimanan. 

Di saat seseorang mau mensyukuri nikmat, di situlah akan tampak syukurnya pula. Artinya, Allah SWT senantiasa memberikan balasan atas syukurnya seorang hamba.

Di dalam tafsir Al-Thabari, esensi dari ayat di atas adalah bahwa Allah tidak memberikan adzab kepada orang munafik selama mau bertaubat kepadanya, kembali pada kebenaran yang sesuai apa yang diperintahkan kepadanya. 

Maka kemudian seseorang mau bersyukur kepadanya atas karunia nikmat yang diterimanya, atas dirinya, keluarganya, dan anak-anaknya.

Menurut para Ulama’, bersyukur kepada Allah itu ada tiga cara, yaitu
1. Bersyukur dengan hati, ialah dengan cara membentuk keyakinan dan keinginan dalam diri untuk menjalani kebajikan-kebajikan yang telah diperintahkan dan tidak gampang memperlihatkan bentuk nikmat yang telah Allah berikan kepadanya terhadap setiap orang.

2. Bersyukur dengan lisan, yaitu dengan memperbanyak puji syukur kepada Allah sambil membaca Alhamdulillah.

3. Bersyukur dalam sikap perilaku (Perbuatan), dalam bentuk sikap tingkah laku dan perbuatan adalah dengan menjadikan nikmat-nikmat yang telah Allah SWT berikan padanya sebagai sarana amal ibadah serta menjaga diri sedapat mungkin dari maksiat.

Menurut Imam Al-Ghazali, yang menjadi sebab seseorang tidak mau bersyukur kepada Allah SWT adalah kebodohan dan kelalaian seseorang terhadap nikmat yang diterimanya. 

Oleh karenanya, seseorang tidak boleh bodoh dan lalai untuk mengetahui tentang nikmatnya. Dan, ketika seseorang itu faham dari mana datangnya nikmat, maka lisannya akan berucap Alhamdulillah.

Yang juga perlu disertai dengan mentasarufkan segala nikmat di jalan Allah SWT. Dalam Surat Ibrahim, Allah SWT berirman:

(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kalian mau bersyukur kepadaku maka niscaya aku tambah nikmatmu, tetapi apabila kalian kufur atas nikmatku maka adzabku sangat pedih. (QS. Ibrahim, ayat 7). 

Dengan demikian, bersyukur merupakan amalan sederhana yang dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan yang sempurna. Tentu bersyukur yang dimaksud adalah bersyukur secara hakiki dan tidak kufur atas nikmat Allah SWT.

Dalam kitab Ihyaa ‘Uluum ad-Diin dijelaskan bahwa seseorang tidak dikatakan bersyukur selagi belum mampu menjadikan nikmat yang telah ia terima sebagai sarana untuk mahabbah (mencintai Allah SWT), dan bukan untuk kesenangan-kesenangan yang bersifat pribadi.

Bila ia menjadikan nikmatnya justru sebagai sarana terhadap hal-hal yang Allah SWT murkai, maka sesungguhnya ia benar-benar telah mengkufuri nikmat-Nya sebagaimana ia menganggurkan nikmat tersebut.

Karena artinya ia telah menyia-menyiakan kesempatan yang telah Allah SWT berikan padanya untuk menggapai kehidupan bahagia. Wakil Sekretaris MUI Jatim,  Dr H Fauzi Palestine, M Ag.

Berita Terkini