SURYA Kampus

Kisah Varen Berjuang Keras Demi Kuliah di UGM, Ingin Buktikan ke Ayah yang Tinggalkannya Sejak Kecil

Bertumbuh tanpa sosok ayah tak membuat Varen Syifa Maudina (19) patah arah. Begini kisahnya hingga bisa lolos SNBP UGM 2025

Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
Kolase UGM
SNBP 2025 - Varen Syifa Maudina dan ibunya. Varen bertumbuh tanpa sosok ayah, namun tak membuatnya patah arah. Begini kisahnya hingga bisa lolos SNBP UGM 2025 

SURYA.CO.ID - Bertumbuh tanpa sosok ayah tak membuat Varen Syifa Maudina (19) patah arah. 

Ia justru memiliki tekad kuat untuk membahagiakan sang ibu, Siti Darojah (53), yang selama ini menjadi orang tua tunggal sekaligus tulang punggung keluarga. 

Yakni, dengan membuktikan bahwa dirinya mampu kuliah di kampus ternama Indonesia.

“Saya akan buktikan pada Ayah saya bahwa anak yang ditinggalkannya bisa melakukan suatu yang besar, saya dan kakak perempuan saya bisa berkuliah,” katanya dengan bersemangat, dikutip dari laman UGM.

Impian Varen pun terwujud ketika dirinya dinyatakan lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2025.

Ia berhasil diterima di Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP), Universitas Gadjah Mada (UGM).

Tak hanya itu, ia juga dibebaskan dari uang kuliah tunggal (UKT) 100 persen.

Impian ini sudah ia rancang sejak sekolah menengah pertama (SMP).

Meski keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa ikut bimbel, Varen menempuh jalur lain dengan memanfaatkan les murah, belajar mandiri via daring, dan bergantung pada doa serta tekad. 

“Ibu saya tidak pernah bilang keberatan, selalu mendukung dan membebaskan pilihan saya. Saya percaya kalau kita niat cari ilmu, Allah pasti kasih jalan,” ungkapnya.

Varen mengaku, selalu memegang teguh pesan sang ibu tentang nilai-nilai kejujuran, rendah hati, mandiri, dan selalu berbagi kepada sesama.

Kini, sebagai mahasiswa baru UGM, Varen memiliki mimpi lebih besar lagi untuk melanjutkan S-2 dan berkiprah di sektor pemerintahan atau BUMN sebagai wujud terima kasih kepada sang bunda,

Sosok Varen di Mata Ibu

Sementara Siti Darojah membenarkan bahwa selama ini menjadi orang tua tunggal.

Sang suami pergi begitu saja ketika Varen masih bayi.

Setelah gempa 2007, usaha miliknya hancur. Begitu pula dengan masalah rumah tangga yang datang menghampiri.

Sejak saat itu, Siti tak punya pilihan lain, selain berjualan di kantin sebuah sekolah dasar (SD) di daerah Jetis, Bantul.

Pekerjaan itulah yang digunakan untuk membiayai sekolah Varen dan kakaknya, yang saat itu masih duduk di bangku SD. 

“Saya memprioritaskan anak-anak, apapun saya lakukan dan saya fokuskan untuk kehidupan anak,” ujar Siti.

Siti mengaku, Varen suka membantu menyiapkan dagangan sebelum berangkat sekolah.

Varen sudah sampai di gerbang sekolah pukul 5 pagi, karena ibunya harus segera bergegas untuk mempersiapkan lapak. 

Ia mengaku bangga akan perjuangan ibunya yang mengusahakan segalanya untuknya. 

Lebih dari itu, Varen berinisiatif membantu ibunya dengan membawa dagangan dan menitipkan di kantin sekolahnya.

“Sejak SD sampai SMA sekolah Varen memang jauh dari rumah, itu saya lakukan supaya dia nggak dapat tekanan sosial kalau bersekolah di sekitar lingkungan rumah dan ditanya tentang ayahnya,” tutur Siti.

Meskipun dikenal pendiam, Varen memiliki prestasi di kelas dengan meraih peringkat tinggi di setiap jenjang sekolahnya dan menjuarai lomba menggambar sejak kecil.

Ia juga memiliki kesan positif di mata guru dan teman-temannya.

“Anaknya memang pendiam, tapi dia tanggap sama lingkungan sekitar, baik sama keluarga atau ke teman-temannya,” nilai Siti.

“Untuk semua yang tengah berjuang, dinikmati aja karena suatu hari nanti kita mesti mendapatkan hasil dari apa yang telah kita perjuangkan dengan bangga,” pungkas Varen.

Kisah Lain : Gadis Yatim Lolos SNBP 2025

Pencapaian Adinda Yusria Rachma, menjadi bukti nyata kegigihan mewujudkan impian meraih pendidikan tinggi dan mengubah nasib keluarga.

Adinda terlahir dari keluarga sederhana.

Ibunya, Eny Setyawati, berprofesi sebagai guru di Taman Asuh Anak Al Fatihah di lingkungan rumah mereka.

Pekerjaan inilah yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan sejak ayah Adinda meninggal dunia sejak lama. 

Meski begitu, Eny selalu menyemangati anak-anaknya agar menggapai cita-cita yang mampu bermanfaat bagi sesama.

Menurutnya, pekerjaan yang bukan sekadar untuk bertahan, tetapi juga untuk melayani.

“Saya tanamkan ke anak-anak, kalau bisa kerjalah di bidang yang bermanfaat entah pendidikan atau kesehatan."

"Karena itu ladang amal untuk bekal hidup panjang bukan hanya di dunia," katanya, dikutip dari laman UGM.

Pesan dari ibunya yang menjadi inspirasi dan alasan Adinda ingin menekuni bidang kesehatan.

“Saya ingin membantu orang, terutama dalam situasi darurat,” ungkap Adinda.

Ia lantas memilih kuliah di Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK), Universitas Gadjah Mada (UGM)

Keinginan Adinda pun terwujud setelah mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2025. 

Tak hanya itu, Adinda juga menerima beasiswa UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100 persen atau UKT 0 yang membebaskannya dari kewajiban membayar uang kuliah.  

“Waktu lihat nama saya lolos SNBP, rasanya kayak mimpi. Tapi ternyata belum selesai, beberapa hari kemudian, saya cek dan ternyata saya juga dapat beasiswa."

"Senang tentunya karena bisa meringankan beban Ibu,” ujar Adinda.

Ketertarikan itu bukan sekadar cita-cita masa kecil, tapi makin mantap saat ia aktif di kegiatan OSIS dan Palang Merah Remaja (PMR) selama SMA.

Ia kerap mengikuti pelatihan pertolongan pertama, simulasi evakuasi bencana, dan kegiatan sosial lainnya yang membuatnya sadar bahwa dunia kesehatan adalah panggilan hidupnya.

Aktivitas di organisasi tersebut sempat membuat nilainya turun di tengah semester. Adinda tidak menyerah.

Ia belajar mengatur waktu lebih baik, menyeimbangkan kegiatan organisasi dengan tanggung jawab akademik.

Ia mulai membatasi kegiatan di luar jam pelajaran dan memperkuat kebiasaan belajar malam hari. 

Dukungan dari guru dan teman-temannya juga menjadi suntikan penambah semangat.

“Saya sadar saya harus kejar ketertinggalan. Semester akhir saya push diri sendiri supaya masuk peringkat eligible."

"Akhirnya, bisa masuk UGM sesuai harapan saya dan keluarga,” ujarnya sambil tersenyum.

Adinda mengakui selama proses seleksi, ibunya adalah sosok yang paling sering menyemangati dan mendoakan, bahkan saat ia sendiri sempat ragu.

Ia ingat betul bagaimana ibunya selalu menyisipkan doa di sela-sela makan pagi atau menjelang tidur. 

Setiap langkah yang ia tempuh terasa seperti langkah bersama, bukan semata usaha pribadi. 

“Masuk UGM itu juga salah satu cita-cita Ibu. Jadi saya merasa ini bukan cuma kemenangan saya, tapi juga hadiah kecil untuk beliau,” tambahnya.

Saat di kampus nanti, Adinda sudah memiliki bayangan yang jelas.

Ia ingin memperdalam pemahaman tentang praktik keperawatan, penanganan pasien, dan pertolongan pertama.

Tidak hanya di kelas, ia juga ingin aktif di luar ruang akademik.

Adinda berharap bisa bergabung di organisasi kemahasiswaan dan kegiatan volunteering, khususnya menjadi relawan di daerah bencana.

Ia juga berharap bisa mengikuti riset-riset lapangan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.

“Saya ingin bantu langsung masyarakat yang benar-benar membutuhkan tenaga medis. Itu salah satu alasan saya masuk keperawatan, bukan cuma karena saya suka, tapi karena saya merasa ini jalan saya untuk berkontribusi,” tuturnya.

===

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam Whatsapp Channel Harian Surya. Melalui Channel Whatsapp ini, Harian Surya akan mengirimkan rekomendasi bacaan menarik Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Persebaya dari seluruh daerah di Jawa Timur.  

Klik di sini untuk untuk bergabung 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved