Berita Viral

Kisah Perjuangan Andika Siswa Berkebutuhan Khusus yang Bawa Indonesia Juara di Lomba Masak Dunia

Kisah perjuangan seorang siswa bernama Kadek Dwi Andika Putra bawa Indonesia jadi juara lomba masak dunia, sangat menginspirasi.

Puspresnas Kemendikdasmen
SISWA BERPRESTASI - Kadek Dwi Andika Putra dan kedua orangtuanya. Andika merupakan Siswa Berkebutuhan Khusus yang Bawa Indonesia Juara di Lomba Masak Dunia. 

SURYA.co.id - Kisah perjuangan seorang siswa bernama Kadek Dwi Andika Putra bawa Indonesia jadi juara lomba masak dunia, sangat menginspirasi.

Pasalnya, Andika merupakan siswa berkebutuhan khusus.

Andika merupakan siswa SLB Negeri 2 Denpasar, Bali.

Meski demikian, ia berhasil membawa medali perunggu di ajang Battle of The Chefs (BOTC) di Penang, Malaysia.

Ajang tersebut adalah kompetisi memasak dengan peserta pelajar dari berbagai negara.

Andika menjadi perwakilan Indonesia setelah sebelumnya menang di kompetisi tingkat nasional.

"Perjalanan prestasi Andika pada tahun 2023 mengikuti LKS di tingkat Provinsi.

Lalu akhirnya menang dan mewakili Provinsi di tingkat nasional dan di LKS tingkat Nasional Andika memperoleh peringkat ke-5," kata I Wayan Sumarsa selaku guru pendamping Andika, dilansir dari laman Pusat Prestasi Nasional Kemendikdasmen.

Baca juga: Kisah Perjuangan Yudha Dulu Sempat Kesulitan Bayar Uang Kuliah, Kini Sukses Bangun Bisnis Sendiri

Andika mengikuti perlombaan pada tahun 2024 lalu di Penang, Malaysia.

Dalam kompetisi yang rutin digelar tiap tahun ini, Andika sempat menghadapi beberapa kendala.

"Andika akhirnya mendapatkan undangan mengikuti pembinaan dan seleksi ajang internasional dari Pusat Prestasi Nasional. Andika bersama teman-temannya pun mengikuti ajang Battle of The Chefs (BOTC) yang diselenggarakan pada 27 s.d. 29 Juni 2024 di SPICE Arena, Penang, Malaysia," kata I Wayan.

I Wayan bercerita bahwa saat itu, materi perlombaan tiba-tiba diubah. Sehingga Andika harus tanggap mempelajari bahan lomba dari awal lagi.

"Kesulitan dimulai saat mengetahui materi lomba berubah. Andika sendiri belum pernah menggunakan bahan rich cream. Jadi, dia belajar dari awal, mulai dari proses mengaduk krim, membuat pola, sampai dengan pewarnaan," ujarnya.

Kebanggan tak hanya dirasakan oleh I Wayan sebagai guru pendamping, tapi juga kedua orang tua Andika. Ibunya Gusti Ayu Agung tak menyangka keterbatasan Andika tak berpengaruh pada kemampuannya saat bertanding.

"Bangga sama Andika bisa mengharumkan nama sekolah dan nama negara. Bangga sama anak saya," ungkapnya.

Putra dari ayah yang bekerja sebagai Linmas yakni I Nyoman Wardana tersebut dalam kesehariannya dikenal sebagai anak yang patuh. Andika rajin dan piawai membantu orang tua dalam hal mencuci, bersih-bersih, memasak, dan lainnya.

I Wayan sebagai guru sangat bangga atas prestasi Andika yang telah membawa nama sekolah. Ia tak menyangka siswa ajarnya telah mengharumkan nama Indonesia.

"Saya sangat bangga sekaligus tidak menyangka Andika bisa meraih perunggu di kompetisi BOTC kemarin," ucapnya.

Di akhir, Andika punya pesan bagi siswa yang punya kondisi sepertinya untuk selalu bersemangat mengejar mimpi. Ia telah membuktikan sendiri bahwa saat ini sudah banyak ajang talenta yang terbuka untuk siswa seperti dirinya.

"Keterbatasan itu bukan menjadi halangan karena kita semua memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi. Jadi tetap semangat," pesannya.

Mahasiswi Disabilitas Lulus Cumlaude S2 UGM

Di kisah lain, Ida Mujtahidah mampu membuktikan bahwa memiliki keterbatasan tidak menjadi alasan untuk mengenyam pendidikan tinggi. 

Ida menjadi salah satu dari 841 lulusan Program Magister, Spesialis, Subspesialis, dan Doktor yang diwisuda pada Program Pascasarjana di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (23/1/2025) lalu. 

Tak hanya itu, dia juga meraih predikat Cumlaude karena lulus tepat waktu dan mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nyaris sempurna, yakni 3,9.

Lulusan Program Studi S2 Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) ini semringah saat Dekan Fisipol, Wawan Masudi, menghampirinya sembari menyerahkan ijazah.

Mata Ida tampak berkaca-kaca.

Sebab, ini adalah pencapai terbesar dalam hidupnya.

Sambil duduk di kursi roda listrik, Ida mengaku, keluarga memiliki peran sangat besar dalam perjalanan studinya.

Baginya, keluarga selalu menjadi sumber dukungan moral, emosional, dan logistik yang dibutuhkan termasuk fasilitas kursi roda listrik.

Meski begitu, Ida mengaku sempat mengalami mental breakdown ketika menjalani masa kuliah.

Beruntung, sesama awardee LPDP turut membantunya mengatasi masa sulit tersebut dengan memastikan dirinya merasa aman, mendukung agar ia tetap percaya diri, serta mendampingi Ida selepas konsultasi rutin dengan psikolog.

“Tentu saja masih ada ruang perbaikan untuk meningkatkan awarenessserta membangun budaya yang lebih inklusif di UGM,” tutur Ida, dikutip SURYA.CO.ID dari laman UGM, Senin (10/2/2025).

Sebagai penyandang disabilitas, Ida menjelaskan tantangan terbesar yang harus dihadapi saat menjalankan perkuliahan adalah menjaga stamina fisik dan menghadapi keterbatasan mobilitas.

Namun, dengan jadwal yang terorganisir, dukungan keluarga, serta semangat untuk segera lulus kuliah, ia berhasil melewati berbagai rintangan dan tetap fokus pada tujuan.

Dukungan layanan aksesibilitas yang disediakan Fisipol dan UGM secara umum.

Seperti lift yang aktif untuk seluruh lantai, adanya ruangan khusus untuk pengunjung disabilitas di Perpustakaan dan Arsip, serta tambahan jalur landai di FISIPoint menurutnya sangat membantu.

Bahkan sistem pembelajaran hybrid antara daring dan luring dengan pengumpulan tugas yang bisa dilakukan secara daring juga dirasa makin memudahkan dirinya mengerjakan tugas perkuliahan.

“UGM telah menyediakan berbagai fasilitas ramah disabilitas, seperti rampa, handrail dan layanan pendukung."

"Namun, peningkatan masih dibutuhkan. Misalnya dalam hal penyediaan transportasi kampus yang lebih inklusif dan aksesibilitas untuk gedung tua,” jelasnya.

Sejak memulai studi pada 2023, Ida aktif melakukan advokasi bagi penyandang disabilitas. Selain itu, ia juga aktif mengikuti berbagai konferensi.

Ida sempat terpilih sebagai best paper presenter pada 6th International Conference on Interreligious Studies (ICONIST) yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Dirinya juga terpilih menjadi partisipan dalam Sekolah Riset Advokasi Disabilitas 2024 yang merupakan kolaborasi antara SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak) dan KONEKSI (Knowledge Partnership Platform Australia – Indonesia).

Ida patut berbangga karena pada program tersebut hanya 21 orang yang dipilih dari ratusan periset disabilitas di seluruh Indonesia.

Selain itu, Ida juga diundang sebagai peserta pada Konferensi Internasional Pengetahuan dari Perempuan yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan (Komnas) Perempuan di Universitas Brawijaya pertengahan September 2024 lalu.

Kini setelah lulus, Ida berharap bisa berkontribusi lebih luas dalam advokasi penyandang disabilitas, khususnya dalam membangun kebijakan inklusif.

Ia pun berencana untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Menurutnya, pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas.

“Kampus tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga membangun kepercayaan diri dan jaringan profesional yang diperlukan untuk bersaing,” ujarnya.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu mendukung para penyandang disabilitas dengan membangun pemahaman tentang kebutuhan mereka, menghapus stigma, dan memberikan kesempatan yang sama di berbagai aspek, termasuk pendidikan dan pekerjaan.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved