PPDB Akan Berubah Jadi SPBM, Pakar Pendidikan UM Surabaya Ingatkan Dampak Penghapusan Zonasi

Mulai 2025 ini, Kemendikdasmen berencana mengubah sistem PPDB menjadi SPMB. Mekanisme zonasi yang selama ini diterapkan, akan diganti sistem domisili.

|
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Cak Sur
Istimewa/Dokumen Pribadi
PPDB BERUBAH JADI SPMB - Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya, khususnya di Departemen Pendidikan Guru, Achmad Hidayatullah SPd MPd PhD menyoroti wacana perubahan sistem PPDB menjadi SPBM. Ia mengingatkan potensi adanya kesenjangan di sekolah jika zonasi dihapuskan. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Mulai 2025 ini, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana mengubah sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan memperkenalkan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). 

Dalam sistem baru ini, mekanisme zonasi yang selama ini diterapkan, akan digantikan dengan sistem domisili.

Salah satu perubahan signifikan, adalah Kartu Keluarga (KK) tidak lagi menjadi syarat utama dalam menentukan domisili calon peserta didik.

Menanggapi kebijakan ini, Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Achmad Hidayatullah SPd MPd PhD menilai bahwa sistem zonasi masih layak dipertahankan, meski perlu perbaikan.

Menurutnya, sistem zonasi berperan penting dalam pemerataan pendidikan di Indonesia.

“Karena dengan sistem zonasi, ada kontrol pemerintah untuk pemerataan pendidikan. Sistem ini masih diperlukan guna memperkuat collective beliefs masyarakat, bahwa pemerataan pendidikan itu penting,” ujar pria yang akrab disapa Dayat ini, Rabu (29/1/2025).

Ia juga mengingatkan, bahwa penghapusan total zonasi berpotensi memperlebar kesenjangan antara sekolah unggulan dan sekolah biasa. 

Jika sistem zonasi dihilangkan, sekolah unggulan kemungkinan besar akan dipenuhi oleh siswa dari keluarga ekonomi kelas atas, sementara sekolah biasa lebih banyak diisi oleh siswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.

“Tentunya ini tidak baik untuk masa depan pendidikan Indonesia. Apa pun namanya, substansi dari zonasi ini perlu dipertahankan dengan pengawasan ketat,” tegasnya.

Selain itu, Dayat menyoroti pentingnya pemerataan distribusi guru. Menurutnya, sekolah unggulan negeri cenderung memiliki lebih banyak guru berkualifikasi tinggi,dibandingkan sekolah lain yang kekurangan tenaga pengajar. 

Oleh karena itu, peningkatan kualitas dan pemerataan distribusi guru harus menjadi prioritas dalam kebijakan pendidikan.

Di sisi lain, ia mengapresiasi langkah pemerintah yang berencana membantu siswa yang gagal seleksi di sekolah negeri untuk bersekolah di swasta dengan bantuan biaya dari pemerintah.

“Pelibatan sekolah swasta ini, juga bentuk keadilan dalam bidang pendidikan, bahwa pendidikan bisa diakses oleh semua rakyat,” tambahnya.

Menurut Dayat, kebijakan ini tidak hanya membantu sekolah swasta yang selama ini mengalami penurunan jumlah siswa akibat PPDB, tetapi juga dapat memperkuat keyakinan siswa bahwa pendidikan adalah hak semua orang, bukan hanya kelompok tertentu.

Dari perspektif teori kognitif sosial yang dikemukakan Albert Bandura, Dayat menjelaskan, bahwa dukungan pemerintah bagi siswa di sekolah swasta dapat meningkatkan self-efficacy atau kepercayaan diri mereka dalam meraih keberhasilan.

“Karena dengan dukungan pemerintah, meskipun di sekolah swasta, siswa akan merasa mendapatkan perhatian, sehingga mereka tetap memiliki kepercayaan diri bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil,” pungkasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved