Berita Viral

Kisah Pemuda Marbut Masjid di Pekanbaru Nyambi Jadi Guru Ngaji Gara-gara Gaji Sering Telat

Pemuda usia 23 tahun bernama Muizzul Hidayat memilih jalan hidupnya menjadi marbut masjid Paripurna Al-Muttaqin di Kota Pekanbaru, Riau. Ini kisahnya

|
Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
Kompas.com
Pemuda 23 tahun jadi marbut masjid 

SURYA.CO.ID - Pemuda usia 23 tahun bernama Muizzul Hidayat memilih jalan hidupnya menjadi marbut masjid Paripurna Al-Muttaqin di Kota Pekanbaru, Riau. 

Meski masih usia muda, Dayat-sapaan akrabnya, sudah terbiasa melakukan pekerjaan serupa sejak tinggal di pondok pesantren. 

"Saya masih muda, belum nikah. Saya mau jadi marbut karena sudah terbiasa mondok waktu sekolah pesantren. Pekerjaan seperti ini kan tentu terikat," ujar Dayat sambil tersenyum, dikutip dari Kompas.com

Lima tahun sudah Dayat melakoni pekerjaan sebagai marbut masjid. Tentu banyak suka duka yang ia alami. 

Seperti ketika memasuki Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Ketika semua orang menikmati kehangatan bersama keluarga, Dayat justru jauh dari keluarga, karena sibuk mengurus masjid.

"Ayah sama ibu tinggal di Pelalawan. Saya kerja jadi marbut di sini. Saya rindu buka bersama orangtua."

"Lebaran kadang tak bisa pulang di hari pertama, karena pekerjaan. Saya mencoba bersabar dan ikhlas," ujar Dayat.

Gaji Terlambat

Anak kedua dari empat bersaudara itu mendapatkan gaji Rp 2,1 juta per bulan, dari Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru.

Gaji tersebut bisa dibilang jauh dari upah minimum kota (UMK) yang sebesar Rp 3,4 juta.

Tak hanya itu, Dayat mengaku gajinya pun sering telat dibayar.

Terkadang, gaji satu bulan diterima di bulan ketiga.

"Misalnya gaji bulan Januari dibayar pada Maret. Tapi cuma satu bulan yang dibayarkan yang bulan Januari. Enggak dirapel jadi tiga bulan," sebut Dayat.

"Kalau bilang cukup, ya dicukup-cukupkan. Tetap bersyukur. Saya juga kirim uang buat orangtua di Pelalawan, apalagi ayah saya sudah sakit-sakitan karena faktor usia," ujar Dayat.

Meski begitu Dayat mengaku, menjadi marbut tidak hanya untuk mendapatkan uang, tetapi juga mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

"Saya merasa nyaman kerja seperti ini. Pengabdian kepada umat Islam. Selain dapat gaji, juga bisa beribadah dengan tenang dan menjaga rumah Allah," ucap Dayat.

Saat mendaftar menjadi marbut Masjid Paripurna Al-Muttaqin, Dayat harus mengikuti beberapa tes.

Di antaranya, tes mengaji, azan, dan menjadi imam. Setelah lulus, barulah Dayat bisa mendapatkan Surat Keputusan, sebagai tanda diterima. 

Selama hidup di masjid, pemuda ini mendiami sebuah ruangan berukuran 2x4 meter yang bersebelahan dengan bangunan masjid.

Dia tidak bekerja sendiri, ada enam orang lain yang menemaninya bertugas.

"Di sini kami ada enam orang, dengan tugas yang berbeda. Marbut satu orang, yaitu saya, duaa sekuriti, dua cleaning service, dan seorang imam," sebut Dayat.

Nyambi Jadi Guru Ngaji

Di samping menjaga masjid, Dayat juga mengajar anak-anak mengaji. Dari situ, ia bisa mendapat tambahan uang.

"Alhamdulillah, saya ngajar anak-anak mengaji. Jadi saya dikasih upahlah. Kadang sebulan dapat Rp 400-500 ribu," kata Dayat.

Sementara, selama bulan puasa, ada saja donatur yang memberikan makanan yang diantar ke masjid. "Kalau hari-hari biasa tak ada. Makan pakai uang sendiri," kata Dayat.

Meski begitu, Dayat mengaku, masih akan bertahan menjadi marbut. Menurut dia, mencari pekerjaan dengan upah yang layak, sulit didapatkan.

"Sementara jadi marbut saja dulu. Kalau nanti ada pekerjaan yang upahnya lebih besar baru pindah kerja," tutur Dayat.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved