Berita Surabaya

Pelaku Usaha Sarang Walet Keluhkan Regulasi Ekspor yang Tak Ramah UMKM

pengusaha sektor sarang Walet, terutama dari kalangan peternak, mengeluhkan kesulitan menjual produknya di pasaran baik ekspor maupun lokal.

Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: irwan sy
ist
Wahyudin Husein, Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI). 

 SURYA.co.id | SURABAYA - Para pengusaha sektor sarang Walet, terutama dari kalangan peternak, mengeluhkan kesulitan menjual produknya di pasaran baik ekspor maupun lokal.

Sementara menurut data yang dikeluarkan oleh Anggota Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI), Indonesia mampu memproduksi 1.500 ton sarang walet per tahun.

"Namun hanya 300 ton yang bisa diekspor dan sisanya harus dijual ke pasar gelap dengan harga yang merugikan para peternak," kata Wahyudin Husein, Ketua APPSWI, Kamis (22/2/2024).

Wahyudin menjelaskan bahwa produk walet merupakan hasil Sumber Daya Alam (SDA) yang berpeluang besar meningkatkan ekonomi di Indonesia.

Ia mencatat, Indonesia mampu memenuhi 80 persen kebutuhan walet di seluruh dunia.

"Namun sayangnya, sejak tahun 2012 muncul MoU Import Protocol yang membuat para pelaku UMKM walet di Indonesia tercekik," jelas Wahyudin.

MoU Import Protocol itu lantas berlaku sejak 2014.

Mereka mulai merasakan imbas dari MoU itu pada tahun 2016.

"Kami para UMKM sangat kesulitan untuk menjual produk walet kami, utamanya untuk ekspor,” ungkapnya.

Kesulitan-kesulitan itu dirasakan oleh para UMKM Walet setelah muncul Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2012 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Sarang Burung Walet ke Republik Rakyat China (RRC).

Para UMKM Walet kesulitan untuk memenuhi standarisasi untuk ekspor sarang walet dan dianggap hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan monopoli dagang komoditi sarang walet.

Apalagi, dalam peraturan itu, sarang walet masuk dalam klasifikasi tingkat resiko menengah tinggi.

“Kesulitan yang kami alami contohnya pengurusan izin mulai dari daerah sampai di China itu mungkin kalau ditotal ada 1000 lembar. Waktunya juga lama. Mengurus di tingkat kabupaten/kota saja bisa 3-6 bulan. Tentu ini memakan biaya dan menyulitkan UMKM,” beber Wahyudin.

Selain kesulitan mengurus izin, para UMKM juga merasa tidak mampu membuat tempat produksi sarang walet yang sesuai dengan regulasi, sehingga di Indonesia hanya ada 33 perusahaan yang bisa ekspor ke Tiongkok.

Hal itu membuat UMKM sarang walet kian terpuruk dan kini nasibnya di ujung tanduk.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved