Berita Surabaya

Matikan Industri Tembakau, Kadin Jatim Minta Pasal 154-158 RUU Kesehatan Omnibus Law Dihilangkan

Kadin Jatim menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah disusun secara Omnibus Law

Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: irwan sy
sri handi lestari/surya.co.id
Ketua Umum Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto bersama Wakil Ketua Umum Bidang Pengusaha Wajib Cukai Kadin Jatim, Sulami Bahar, saat menyampaikan protes terkait lima pasal di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah disusun secara Omnibus Law, yang mengatur tentang IHT, Senin (22/5/2023). 

SURYA.co.id | SURABAYA - Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur (Kadin Jatim) menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah disusun secara Omnibus Law, terutama yang mengatur tentang Industri Hasil Tembakau (IHT).

"Ada lima pasal dalam RUU tersebut yang akan mematikan IHT dan penyusunan RUU ini di sinyalir sengaja dilakukan secara tidak transparan untuk kepentingan pihak tertentu, yang tujuannya menekan eksistensi IHT," kata Adik Dwi Putranto, Ketua Umum Kadin Jatim, Senin (22/5/2023).

Kelima pasal itu adalah pasal 154, 155, 156,157 dan 158, di mana pasal-pasal tersebut sangat kontradiktif dengan keberlangsungan IHT dalam memberikan pendapatan cukai negara, sehingga perlu pembahasan yang lebih detail lagi dengan para stakeholder terkait.

"Bukan hanya tidak melibatkan para pemangku kepentingan, proses penyusunan RUU ini pun dilakukan tanpa melalui kajian yang mendalam. Sebagai contoh, pada pasal 154 RUU Kesehatan ini mencantumkan penyetaraan antara produk tembakau dengan zat adiktif seperti narkotika," jelas Adik.

Hal itu tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-VII/2009 sebelumnya yang menegaskan bahwa zat adiktif pada produk tembakau tidak sama dengan zat adiktif pada narkotika.

Lebih dari itu Adik juga mengungkapkan kekhawatiran akan timbulnya permasalahan baru pada pasal-pasal lanjutan, yaitu pasal 155 dan 156.

Pasal 155 merupakan sebuah aturan baru yang mengatur mengenai penggunaan diversifikasi tembakau untuk produk lain seperti medis, herbal, kosmetik maupun aromaterapi, akan diperlakukan secara khusus.

“Jika pasal 155 ini dihapus, maka ini bertentangan dengan tujuan yang selama ini ingin didorong pemerintah untuk mencari alternatif industri rokok. Ketika kondisi IHT yang menurun, maka hasil tembakau semestinya tetap dapat terserap jika ada industri alternatif. Jika tidak ada, maka bukan tidak mungkin masa depan komoditas tembakau kita akan terpuruk,” beber Adik.

Sementara itu, pada pasal 156 disebutkan terkait standardisasi kemasan dan peringatan kesehatan pada produk tembakau, dan hal ini nantinya akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan.

Adik menegaskan bahwa hal ini merupakan hal yang tidak semestinya, dan menyalahi kewenangan.

“Usulan pengaturan standarisasi kemasan yang meliputi jumlah batangan dalam setiap kemasan, bentuk dan tampilan kemasan serta peringatan kesehatan oleh Kemenkes bukan hal yang tepat," ungkap Adik.

Hal itu justru menimbulkan tumpang tindih dengan aturan yang saat ini sudah berlaku, misal ketentuan mengenai isi kemasan telah diatur oleh Kemenkeu berdasarkan amanat UU 39 Tahun 2007 tentang Cukai yang saat ini dijalankan melalui Peraturan Menteri Keuangan 217/2021.

Begitu pula dengan standarisasi kemasan yang seharusnya merupakan kewenangan Kemenperin, bukan Kemenkes.

"Seharusnya RUU kesehatan ini berfokus pada aspek kesehatan saja dan tidak melebihi kewenangan pengaturan dari kementerian yang lain," terang Adik.

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved