Berita Tulungagung

Tetabuhan Mengiringi Tawur Agung Kesanga Umat Hindu di Pura Giri Amerta Tulungagung

Umat Hindu di Tulungagung menggelar upacara Tawur Agung Kesanga di Pura Giri Amerta, Selasa (21/3/2023) sore.

Penulis: David Yohanes | Editor: irwan sy
david yohanes/surya.co.id
Iring-iringan Umat Hindu Tulungagung yang menggelar Tawur Agung Kesanga di Pura Giri Amerta, Selasa (21/3/2023) petang. 

SURYA.co.id | TULUNGAGUNG - Umat Hindu di Tulungagung menggelar upacara Tawur Agung Kesanga di Pura Giri Amerta, Selasa (21/3/2023) petang.

Upacara ini dilakukan sebelum Umat Hindu sebelum melakukan catur brata panyepian, atau Hari Raya Nyepi.

Salah satu tetua Umat Hindu Tulungagung, I Nengah Suteja, mengatakan Tawur Agung Kesanga adalah upacara bhutayadnya, untuk kesejahteraan dan keselarasan alam, baik alam yang kelihatan dan alam yang tak kelihatan.

"Alam semesta harus seimbang, seperti ajaran Tri Hita Karana. Menyelaraskan hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta," ujar Suteja, saat ditemui selepas acara.

Upacara diawali dengan membakar replika bhuta yang terbuat dari kulit kelapa.

Lalu Umat Hindu berbaris satu per satu berkeliling pura.

Paling depan adalah salah satu pemangku yang membawa air suci, disusul pembawa sapu dan di belakangnya tetabuhan serta  tarian.     

Umat lalu berkeliling pura sebanyak tiga kali diiringi tetabuhan dari berbagai alat, seperti kentongan.

Lanjut Suteja, air yang sudah disucikan Romo Mangku ini untuk menyucikan alam semesta.

Sedangkan tetabuhan merupakan seni budaya pengiring jalannya upcara.

"Jika alam tak seimbang, jika dikotori manusia maka alam akan murka. Seperti misalnya hutan yang ditebang, maka akan timbul longsor dan banjir," ucapnya.

Selepas upacara Tawur Agung Kesanga ini, Umat Hindu mulai melakukan catur brata penyepian pada tengah malam.

Catur brata penyepian terdiri dari amati  amati geni atau tidak menyalakan api, terutama api dalam diri sehingga menjadi orang yang  sabar.

Lalu amati karya atau tidak bekerja di luar, amati lelungan atau tidak bepergian, dan amati lelanguan atau  tak menikmati hiburan.

"Selama 24 jam Umat Hindu mulat sarira (mawas diri) baik ke dalam dan ke luar. Perjalanan selama satu tahun menjadi bahan untuk introspeksi diri," ungkap Suteja.

Selepas nyepi, Umat Hindu diharapkan bisa meningkatkan kebaikan dan meninggalkan yang buruk.

Dengan cara itu  setiap orang selalu berada di jalan dharma atau kebaikan, dan menghindari jalan adharma atau keburukan.

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved