Berita Pasuruan

Serikat Pekerja Tolak Revisi PP 109 Tentang Rokok , Dikhawatirkan Picu PHK Besar-Besaran

Hasil cukai rokok tahun 2022 mencapai Rp 218,62 triliun, melebihi 104 persen dari target penerimaan cukai sebesar Rp 209,9 triliun

Penulis: Galih Lintartika | Editor: Deddy Humana
surya/galih lintartika
Forum diskusi industri hasil tembakau membahas revisi PP 109 tentan rokok, Senin (6/3/2023) lalu. 

SURYA.CO.ID, PASURUAN - Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI (FSP RTMM-SPSI) Provinsi Jawa Timur menilai rencana pemerintah merevisi PP Nomor 109 Tahun 2022 akan menyebabkan menurunnya hasil industri.

Hal itu disampaikan Purnomo, Ketua PD FSP RTMM-SPSI Jatim dalam Forum Diskusi Industri Hasil Tembakau di hotel Neo+, di Kabupaten Sidoarjo dengan tema “Penolakan Revisi PP 109 Tahun 2012”, Senin (6/3/2023) lalu.

Dikatakan Purnomo, menurunnya hasil industri rokok otomatis akan berdampak pada PHK secara besar-besaran. Padahal seperti diketahui bersama, industri rokok tetap menjadi primadona dalam penerimaan negara.

“Cukai rokok menyumbang antara 95 persen hingga 96 persen dari total penerimaan cukai di Indonesia. Cukai hasil tembakau sendiri menyumbang hingga 11 persen penerimaan pajak negara setiap tahunnya,” kata Purnomo, Kamis (9/3/2023).

Menurutnya, target penerimaan cukai rokok setiap tahun meningkat. Hasil cukai rokok tahun 2022 mencapai Rp 218,62 triliun, melebihi 104 persen dari target penerimaan cukai sebesar Rp 209,9 triliun yang diatur di Perpres Nomor 98 Tahun 2022.

“Kami secara tegas menolak revisi PP 109 ini. Penolakan ini bukan hanya kami sandarkan pada kepentingan anggota atau teman-teman pekerja industri hasil tembakau,” papar Purnomo.

Namun, kata Purnomo, penolakan itu juga menyangkut kepentingan ekonomi nasional. Menurutnya, materi PP yang sudah ada tidak perlu direvisi, tetapi cukup diperkuat implementasinya.

“Aspek kesehatan memang penting namun kita tidak boleh mengesampingkan aspek lainnya juga. Artinya, perlu ada kajian lebih lanjut terkait revisi PP 109 ini. Kalau memang tidak urgent, tidak perlu direvisi,” jelasnya.

Himawan Estu Bagijo, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur menyampaikan, merencanakan suatu kebijakan atau regulasi memang harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang ada.

“Jika kita gagal membaca kondisi sosial masyarakat, maka dampaknya bisa luar biasa. Ibarat dokter salah nyuntik atau salah kasih obat maka akan menimbulkan bahaya bagi pasiennya,” sambung Himawan.

Jika dokter salah, hanya satu pasien yang terdampak, tetapi kalau regulasi tidak tepat dampaknya satu republik yang menanggung. “ jangan sampai banyak PHK, harus dipikirkan bahwa industri rokok juga harus sustain,” urainya.

Diskusi ini diikuti 100 peserta lebih. Dihadiri sejumlah tokoh Bambang Widjanarko sebagai sekjen Paguyuban MPS, Hananto Wibisono, Sekjen Amti dan Dr. Fendi Setyawan, Akademisi dari Universitas Jember. *****

Sumber: Surya
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved