Berita Pamekasan
Bingung Pasar Sapi Masih Sepi, Pedagang Sapi di Pamekasan Makin Merana Setelah PMK Musnah
kebiasaan padagang sapi di Madura, tidak terkecuali di Pamekasan, bila menjual sapi maka pendampingnya ke pasar sapi
Penulis: Muchsin | Editor: Deddy Humana
SURYA.CO.ID, PAMEKASAN – Mewabahnya pandemi PMK (penyakit mulut dan kuku) benar-benar membuat para pedagang dan peternak merana. Bahkan setelah wabah itu berakhir, peternak berikut ternaknya semakin merana lantaran sejumlah pasar hewan di wilayah Pamekasan ternyata tidak lagi ramai alias sepi dari aktivitas jual beli.
Dari lima pasar hewan di Pamekasan, hanya pasar sapi Keppo di Desa Polagan, Kecamatan Galis yang dinyatakan sudah pulih kembali seperti biasa. Sedangkan pasar sapi di Kecamatan Waru, pasar sapi Pakong, di Kecamatan Pakong dan pasar sapi Proppo di Kecamatan Proppo, belum dinyatakan normal. Bahkan pasar sapi Batubintang di Kecamatan Batumarmar, lengang bak kuburan.
Kepala Bidang (Kabid) Pasar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pamekasan, Agus Wijaya mengatakan, untuk pasar sapi di Keppo, kondisinya baru dikatakan normal dan aktivitas jual beli sapi kembali seperti sedia kala, sejak awal Oktober 2022 ini.
“Untuk pasar lainnya, aktivitas jual beli sapi baru bangkit dan hanya kisaran antara 30 – 40 persen. Namun untuk pasar sapi Batubintang, sampai saat masih sepi. Baik calon pembeli maupun pedagang sapi tidak terlihat di sana. Dan kami tetap minta setiap hari pasaran sapi, petugas pasar tetap masuk dan berjaga di sana,” kata Agus Wijaya kepada SURYA, Senin (17/10/2022).
Menurut Agus, sepinya pasar sapi Batubintang disebabkan beberapa faktor. Letak pasar yang berada di kawasan pantai utara (Pantura) membuat pedagang sapi dan calon pembeli berpikir ulang untuk datang ke sana.
Pedagang khawatir jika menjual sapi di sana maka tidak laku. Begitu juga bagi calon pembeli, sudah telanjur datang, namun tidak ada pedagang sapi.
Agus menambahkan, kekhawatiran para pedagang sapi yang akan menjual sapi di pasar Batubintang masih mempertimbangkan ongkos angkut sapi yang berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan. Karena kebiasaan padagang sapi di Madura, tidak terkecuali di Pamekasan, bila menjual sapi maka pendampingnya ke pasar sapi bisa 3 sampai 4 orang.
Jika laba yang didapatkan dari menjual sapi itu sedikit, maka pedagang sapi boleh dikatakan rugi. Sebab harus membayar biaya orang yang mendampingi. “Bagaimana jika sapi sampai di pasar, ternyata tidak ada calon pembeli, bukankah tambah rugi. Ini yang menjadi pertimbangan,” kata Agus.
Ia mengakui, belum normalnya kelima pasar sapi itu lantaran sebagian masyarakat masih takut dengan PMK. Padahal saat ini kasus PMK pada sapi di Pamekasan sudah tidak ada. Ini berdasarkan hasil dari pantauan Disperindag yang turun ke semua pasar sapi dan menyerap informasi dari para pedagang sapi.
Karena itu untuk menggairahkan kembali keempat pasar sapi yang belum normal, pihaknya bersama stafnya akan melakukan survey dan menggali informasi di bawah, apa permasalahan sebenarnya. Setelah diketahui duduk persoalannya, maka bisa dicarikan jalan ke luar bagaimana menormalkan kembali pasar-pasar sapi ini.
Disinggung normalnya pasar sapi Keppo, Agus menilai wajar. Lantaran pasar Keppo merupakan pasar sapi terbesar di Pamekasan. Calon pembeli, bukan hanya datang dari tiga kabupaten di Madura, tetapi juga dari beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. "Dan kebetulan lokasinya cukup stategis, karena berada di pinggir jalan nasional poros Selatan," tandasnya. *****