Tragedi Arema vs Persebaya
Pengamat Sepak Bola Berharap Federasi Bisa Yakinkan FIFA Agar Tidak Disanksi
Pengamat bola asal Makasar, Hanafing menilai permasalahan sepak bola tanah air adalah soal perilaku suporter yang belum dewasa menerima kekalaha
Penulis: Khairul Amin | Editor: rahadian bagus priambodo
SURYA.co.id|SURABAYA - Sepak bola tanah air sedang berduka akibat insiden kerusuhan pasca laga Arema FC vs Persebaya yang sudah merenggut 131 korban jiwa berdasarkan data siang tadi yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak.
Pada laga yang digelar di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022) kemarin malam itu, kerusuhan terjadi akibat luapan kekecewaan suporter Arema FC atas kekalahan timnya.
Usai peluit panjang, suporter Arema FC merangsek masuk ke tengah lapangan mengejar dua tim untuk meluapkan kekecewaan. Akibat massa yang tidak terkendali, petugas keamanan melepaskan gas air mata.
Baca juga: Sanksi Keras dan Denda Menanti Arema FC Pasca Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan
Mengenai situasi ini, pengamat sepak bola asal Makasar, Hanafing ikut angkat bicara.
Ia menilai bahwa permasalahan sepak bola tanah air dari masa ke masa adalah soal perilaku suporter yang belum dewasa menerima kekalahan tim kebanggaannya.
Suporter masih belum bisa menahan diri jika tim yang dicintainya kalah di kandang.
Ia mencontohkan kejadian sebelumnya pertandingan Persebaya melawan Rans Nusantara di Stadion Gelora Delta Sidoarjo yang seharusnya tidak terjadi.
Beruntung, saat itu tidak ada korban. Sedangkan kejadian di Malang, korban berjatuhan meski bukan karena dampak kerusuhan, melainkan kepanikan yang terjadi ketika petugas menembakkan gas air mata di tribun penonton.
“Permasalahan sepakbola kita dari tahun ke tahun tentang suporter belum banyak perubahan. Suporter belum bisa menahan diri jika timnya kalah di kandang," ungkap Hanafing, Minggu (2/10/2022).
Baca juga: PSSI Bicara Ancaman Sanksi Berat Usai Rusuh Laga Arema FC vs Persebaya
Ia menyebut pendidikan dan pengetahuan tentang dukungan ke tim dari suporter harus lebih ditingkatkan pemahamannya.
"Bahwa permainan itu ada Menang, Seri dan Kalah. Nah, jika tim kalah di kandang, ya legowo menerima, meski itu pahit dan sedih dirasakan,” tambah Hanafing.
Cara mengkritisi, suporter hanya fokus pada kerja tim atau manajemen, bukan melakukan tindakan kekerasan atau pengerusakan fasilitas publik.
“Supporter hanya perlu mengkritisi kerja tim atau manajemen,” tegas mantan pemain Niac Mitra itu.
Nasi sudah menjadi bubur, akibat dahsyatnya kejadian ini dimana menjadi yang terburuk kedua di sepak bola dunia setelah kejadian di Nepal pada tahun 1964 lalu berdasarkan korban jiwa, Indonesia terancam mendapat sanksi dari FIFA.
Ia berharap federasi bisa meyakinkan FIFA agar tidak memberi sanksi berat pada Indonesia.
Apalagi Indonesia sedang mempersiapkan diri berbagai kegiatan kejuaraan sepak bola internasional, salah satunya Piala Dunia U-20 tahun 2023 mendatang.
“Semoga petinggi PSSI bisa mempengaruhi FIFA, karena kita sudah mempersiapkan sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U-20. Jika merujuk sanksi FIFA, maka PSSI bisa kena sanksi tidak bisa bermain di tingkat Internasional selama 5 tahun,” jelasnya.
“Karena yang kisruh dan banyak korban meninggal kemarin malam bukan dari pertandingan, tapi suporter yang masuk ke lapangan dan akibat gas air mata, sehingga banyak yang meninggal akibat sesak napas dan terinjak akibat penonton berlari menyelamatkan diri,” pungkas Hanafing. (amn).