Berita Tulungagung
Adu Sabet Sampai Berdarah-Darah Tetapi Kian Akrab, Seni Tarung di Tulungagung Ini Tetap Menyenangkan
Tiban adalah salah satu seni pertarungan tradisional, di mana dua peserta berhadapan dengan senjata cambuk dari lidi aren dipilin.
Penulis: David Yohanes | Editor: Deddy Humana
SURYA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Tamat (57) dengan bangga menunjukkan luka-luka di tubuhnya. Luka memar bekas cambukan itu terlihat di lengan, punggung tangan, punggung, hingga perut. Selain membiru, ada juga luka terbuka hingga meneteskan darah.
Namun warga Desa Kedoyo, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung itu sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit. Tamat adalah salah satu dari puluhan peserta Tiban yang berlaga di Lapangan Desa Pucunglor, Kecamatan Ngantru, Minggu (19/6/2022). "Memang saya suka pecutan (Tiban). Ini kesenangan saya sejak SD," ucap Tamat.
Tiban adalah salah satu seni pertarungan tradisional, di mana dua peserta saling berhadapan dengan senjata cambuk dari lidi aren yang dipilin. Mereka bergantian saling mencambuk tubuh lawannya, masing-masing mendapat giliran tiga kali.
Seni ini dulunya dipakai untuk memanggil hujan saat kemarau panjang. Namun dalam perkembangannya, tiban digelar untuk menjalin silaturahim antar komunitas. Bahkan tidak ada dendam atau marah, karena para peserta mampu mengakhiri adu sabet itu dengan akrab, bahkan menilai bahwa proses yang menyakitkan itu tetap menyenangkan.
Tradisi ekstrem untuk meminta hujan itu sudah menjadi kearifan lokal di sebagian daerah di Indonesia, dengan cara yang hampir sama. Selain Tiban di Tulungagung, juga ada tradisi Ujungan di Purbalingga dan Ojung di Bondowoso, Gebug Ende di Karangasem (Bali), atau Peresan di Lombok (NTB).
Seperti Tamat yang datang bersama empat temannya untuk mencari lawan saling pecut di atas panggung. "Namanya kesenangan, terluka pun tidak apa-apa. Luka seperti ini masih kalah dengan rasa senangnya," kelakarnya.
Seni Tiban ini digelar dalam rangka peringatan Hari Pancasila yang diselenggarakan Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDI Perjuangan Tulungagung. Selain dari Tulungagung, pesertanya juga datang dari berbagai kota, seperti Trenggalek, Kediri, Blitar, Ponorogo dan Banyuwangi.
Menurut Ketua Panitia, Binti Luklukah, Tiban adalah seni yang harus dijaga dan dilestarikan. "Kesempatan ini juga untuk memperkenalkan Tiban kepada generasi muda. Harapannya ke depan seni ini tetap dilestarikan," terang Binti.
Meski dikenal sebagai seni memanggil hujan, namun panitia menjadikan kesempatan ini untuk ajang silaturrahim para komunitas penggemar Tiban. Mereka bisa saling bertemu dan bertanding serta menjalin keakraban.
Sebab meski seni ini terkesan brutal, namun ada rasa persaudaraan yang kuat di dalamnya. "Ini juga bagian dari upaya kami menggugah nilai-nilai Pancasila di dalamnya. Bersama-sama kita bumikan Pancasila di Tulungagung," sambung Binti. *****