Opini

Kewajiban Berubah Jadi Larangan

Bisa ditengarai, sebuah aturan yang bersifat ajakan, tidak mempan bagi masyarakat Indonesia. Mereka mencari akal untuk lewat jalan tikus.

surya.co.id/sugiharto
Sejumlah anggota Satlantas Polrestabes Surabaya bersama anggota TNI, Dishub dan Satpol PP melakukan penyekatan di perbatasan Kota Surabaya, Kamis (29/4/2021). Kegiatan penyekatan akan dilakukan saat diberlakukan larangan mudik Hari Raya Idul Fitri, 6-17 Mei 2021. 

Oleh: Yayan Sakti Suryandaru (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UNAIR Surabaya)

Sebagaimana diketahui, kebijakan penanganan Covid-19 berubah-ubah. Penulis ingat, kebijakan pertama kali berupa 3M (memakai masker, menjaga jarak aman dan mencuci tangan), memakai desinfektan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kemudian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Mikro (PPKM) adalah sebagian kebijakan dari pemerintah.  Bahkan, menjelang Idul Fitri ini pemerintah mengeluarkan larangan mudik.

Biasanya mall-mall ramai oleh orang-orang yang membeli baju baru, lalu lintas menjadi padat, pasar berjubel, tempat wisata ramai oleh pengunjung. Tetapi kali ini, semuanya menjadi sepi. Adanya aturan larangan mudik itu tegas dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19.

Asalkan membawa dokumen resmi, masyarakat boleh mudik. Tetapi banyak masyarakat tidak mau repot untuk mengurusnya. Sehingga mereka lebih memilih untuk mengakali aturan yang berlaku itu. Reaksi warga yang nekat mudik bermacam-macam. Di hadapan petugas di daerah pencegatan mereka kecewa, marah, menangis, atau jengkel.

Fenomena mudik memang khas terjadi di Indonesia, tidak dipungkiri di negara tetangga hal ini tidak terjadi. Efek sosial, ekonomi, keamanan berimbas oleh ini semua. 

Bermula dari Etika

Pada saat virus corona mewabah, semua negara di dunia terdampak virus ini. Bahkan, hingga saat ini India masih menyimpan persoalan. Mereka berduyun-duyun pindah ke Indonesia.

Disinyalir dari Suara Surabaya (6/5/2021), ada 49 WN India itu yang positif terjangkit virus corona sehingga mereka harus dikarantina. Di saat Indonesia ingin menekan laju penderita Covid-19, persoalan ini menambah beban pemerintah. Bahkan mereka tidak mau dipindahkan dan berbuat onar di bandara.

Pada awalnya kebijakan pemerintah bersifat mengimbau. Meminta masyarakat untuk memakai masker, mencuci tangan, physical distancing, memakai disinfektan, atau menetapkan kawasan-kawasan sebagai zona merah, kuning, hijau dan sebagainya.

Lalu, terdapat juga kebijakan  Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan mudik.  Semuanya itu berupa imbauan, ajakan. Dalam bentuk kampanye, program ini dibuat masif, semua Pemda, jajaran Polri dan TNI harus bersama-sama menyukseskannya. Di berbagai media, ajakan untuk cuci tangan pakai sabun dan memakai masker begitu kencangnya. Kemudian ada semacam sanksi bagi yang berani melanggarnya, denda atau kerja sosial.

Untuk konteks masyarakat Indonesia, berlaku semua aturan itu bisa dilanggar atau diakali. Mereka lebih takut patung polisi, polisi tidur, atau petugas yang mencegat di jalanan daripada sebuah aturan yang bernada ajakan. Mereka lebih suka, didenda, kerja sosial, diputar balik ke daerah rantau tempat mereka bekerja, menumpang di truk terbuka, atau mengaku-mengaku dengan alamat palsu.

Masyarakat Indonesia seringkali mengabaikan penegakan aturan yang sudah jelas. Mereka tidak malu atau takut jika dianggap melanggar. Mereka merasa lebih baik tidak membawa dokumen resmi ketika mudik, sebab yang muncul ke permukaan adalah mereka dilarang mudik.

Padahal, bilamana mereka membawa dokumen resmi seperti hasil SWAB atau GeNose dan Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) mereka boleh mudik atau melanjutkan perjalanan. Penegakan aturan larangan mudik ini membuat kalang kabut pihak Pemda dan TNI-Polri. Mereka harus berjaga-jaga di pintu masuk-keluar kota. Mereka pun harus membuat grup giliran jaga selama 24 jam, mengawasi dan memelototi arus kendaran yang lalu lalang.  Ini tentu menambah anggaran sebelumnya. Tetapi dengan penuh siasat, trik, pengakalan, masyarakat berusaha untuk mengelabui petugas. Masyarakat butuh waktu lebih lama untuk mematuhi sebuah aturan. Jika perlu hukumannya ditambah lebih berat bagi pelanggaran ini.

Bisa ditengarai, sebuah aturan yang bersifat ajakan, tidak mempan bagi masyarakat Indonesia. Mereka mencari akal untuk lewat jalan tikus, memalsukan dokumen, atau menumpang kendaraan yang boleh lewat selama menjelang lebaran misalnya truk pengangkut bahan makanan dan bahan bakar. Bisa dikatakan masyarakat tidak takut pada sebuah aturan. 0

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved