Hikmah Ramadan 2021
Ketua Komisi MUI Jatim Moh Ersyad: Puasa dan Kerukunan Umat Beragama
Manusia diciptakan secara beragam itu bukan untuk saling berperang, melainkan untuk saling mengenal, saling kolaborasi, saling kerja sama
Akan tetapi dalam ranah berkehidupan dalam masyarakat, Rasulullah ketika berkuasa, tidak lantas menumpas habis orang kafir yang ada.
Ketika ditawari malaikat untuk menimpakan gunung Uhud kepada orang-orang yang membangkang, Rasulullah tidak berkenan.
Kata Rasul, barangkali nanti, apabila tidak orang tuanya yang masuk Islam, anak-anaknya kelak akan masuk Islam.
Padahal, Rasulullah bisa saja berdoa sebagaimana yang dilakukan Nabi Nuh supaya umatnya tenggelam, atau tertimpa bencana besar. Itulah keistimewaan Nabi Muhammad, tidak melakukan hal tersebut.
Melalui akhlak Nabi-lah, Umar bin Khattab yang semula sangat memusuhi Islam, Khalid bin Walid yang ganas melawan Islam, begitu pula Wahsyi, seorang budak yang membunuh paman Nabi Muhammad saat perang Uhud, akhirnya juga masuk Islam di kemudian hari.
Tak hanya itu, Umar bin Khattab juga menjadi mertua Rasulullah, juga menjadi amirul mukminin, khalifah kedua setelah Rasulullah tiada.
Khalid bin Walid di kemudian hari justru menjadi panglima perang umat Islam waktu itu. Belum lagi Abu Thalib, paman Nabi yang secara lahiriah belum beriman hingga wafat.
Selama hidupnya, Abu Thalib justru sangat akrab, malah menjadi pelindung dakwah-dakwah Nabi Muhamamd. Hingga ajal menjemput, tidak ada sejarahnya Nabi Muhammad membenci atau memusuhi sang paman atas dasar kekafirannya. Paman yang lain, Abu Lahab, diperangi bukan murni karena tidak iman kepada Allah, melainkan karena ia memerangi Nabi Muhammad.
Pada masa Rasulullah, terjadinya peperangan bukan murni karena perbedaan keyakinan. Buktinya, dalam konsep kewarganegaraan di antaranya dikenal dengan istilah kafir harbi yang menyerang keselamatan jiwa orang muslim; ada pula kafir dzimmi yang wajib mendapat perlindungan pemerintah lantaran taat pada aturan masyarakat yang berlaku dan tidak melawan orang Islam.
Kafir dzimmi layak mendapatkan hak-hak jaminan keselamatan dari orang muslim. Terjadinya perang Badar bukanlah berawal dari permusuhan muslim dan non-muslim, tapi kelompok Nabi Muhammad yang sedang ingin mengambil hak-haknya yang dirampas kafir Quraisy di Nakhlah, tepatnya di dekat sumur Badr.
Sekitar seribu pasukan kafir Makkah menyerang Nabi Muhammad yang tidak bersiap perang dengan jumlah teman sekitar 312 orang saja dengan pasukan berkuda sekitar dua orang.
Karena dari awal, kelompok Nabi Muhammad bukan dalam rangka siap perang. Meskipun satu melawan tiga hingga empat orang, Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Muhammad beserta para sahabatnya.
Berikutnya adalah perang Uhud. Perang Uhud tidak berawal murni dari sentimen agama, tapi karena kafir Makkah ingin membalas dendam kekalahan yang mereka derita dalam perang Badar. Belum lagi misalnya perang Khandaq, atau perang parit. Nabi Muhammad berserta orang-orang Madinah mengalami embargo ekonomi, kehidupan Madinah dibuat paceklik oleh orang kafir dari luar. Pada saat orang Madinah akan diserang, atas usul Salman Al-Farisi, Nabi dan para sahabat bergotong royong membuat parit, mengelilingi kota Madinah dengan tujuan kuda perang yang dibawa musuh, ketika hendak masuk Madinah, pasti akan terjun ke parit terlebih dahulu sehingga mudah dikendalikan. Selain embargo, ada pula perang yang dipicu lantaran orang kafir mengingkari janji perdamaian yang dibuat, dan lain sebagainya.
Artinya, peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah tidak murni karena sentimen agama. Dari segi keyakinan, muslim di Indonesia memang harus yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah agama yang benar. Namun, dalam tataran sosial, kita perlu berinteraksi atau bermuamalah dengan baik kepada siapa saja, apa pun keyakinannya. Demikian lah yang dicontohkan di masa Rasulullah.
Menjaga Indonesia