Berita Madiun
Banyak Manfaat, Pahitnya Keripik Pare Buatan Warga Madiun Berubah Manis Selama Pandemi
Dan di tangan Eny, pare yang pahit diolah menjadi keripik renyah, gurih, dan banyak dinikmati oleh berbagai kalangan usia.
Penulis: Rahadian Bagus | Editor: Deddy Humana
SURYA.CO. ID, MADIUN - Badai Covid-19 yang melanda seantero negeri, memang terasa pahit bagi para pelaku usaha. Hanya beberapa jenis usaha yang bertahan, bahkan malah seperti tak terusik pandemi, seperti usaha kecil keripik berbahan baku pare.
Pare, sayuran hijau menyerupai mentimun yang terkenal pahit, ternyata menjadi kunci pertahanan hidup Eny Setyowati, warga Jalan Kaswari Gang Modin, Kelurahan Nambangan Kidul, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun. Selama pandemi, Eny malah semakin merasakan bahwa pahitnya pare menjadi manis.
Keripik pare buatannya justru laris manis bahkan sampai menembus pasar luar negeri. Dan perekonomian keluarganya pun bergerak, karena para pembeli tampaknya menyadari bahwa pahitnya pare memiliki segudang manfaat bagi kesehatan serta kaya nutrisi.
Dan di tangan Eny, pare yang pahit diolah menjadi keripik renyah, gurih, dan banyak dinikmati oleh berbagai kalangan usia. "Saya merintis usaha ini sejak 2017 silam," Eny membuka perbincangan dengan SURYA yang berkunjung ke rumahnya, Rabu (24/3/2021).
Trial dan error serta tidak mudah menyerah, memang menjadi proses yang dilalui semua orang sukses. Begitu pula Eny. "Awalnya sekadar coba-coba, ternyata banyak yang suka. Akhirnya saya terus kembangkan varian rasanya," ungkap ibu satu anak.
Padahal, ditambahkan Eny, sebelum memulai usaha keripik pare ia sudah berjualan peyek. Dan suatu saat ia mendadak tertarik mencoba membuat keripik pare. Pilihannya itu ternyata menjadi pilihan penting bagi kelangsungan usahanya ke depan.
"Awalnya keripik pare juga saya pakai bumbu peyek. Setahun kemudian saya modifikasi memakai bumbu kentucky. Untuk menghilangkan rasa pahit, saya merendam pare yang sudah diiris tipis-tipis menggunakan air garam selama delapan jam. Kemudian, pare rendaman air garam itu direbus," urainya.
Setelah direbus baru dilumuri tepung dan digoreng. Karena belum memiliki mesin pengering minyak, ia mengeringkan pare yang baru digoreng dengan cara manual. Agar rasa keripiknya enak, ia selalu memilih pare yang masih segar.
Eny juga menambahkan berbagai pilihan varian bumbu beraneka rasa. Di antaranya, original, balado, keju, barbeque, sapi panggang, dan ayam panggang. "Harga jualnya sangat terjangkau, mulai Rp 5.000 untuk kemasan kecil, hingga Rp 80.000 tergantung rasa dan ukuran," katanya.
Eny pun menyadari pentingnya branding dan ia memberi nama merek usaha dagang keripik pare dengan 'Shivatus', yang merupakan singkatan nama anaknya.
Setelah pelanggan terjaring dan penjualan berputar, Eny memikirkan cara pemasaran lain. Di zaman sekarang, perempuan menjadi usil bermedia sosial karena gadget sudah biasa, selama itu digunakan untuk hal bermanfaat.
Dan untuk promosi dan penjualan, Eny pun memanfaatkan media sosial Facebook dan mengikuti berbagai pameran. Meski hanya usaha rumahan, namun keripik pare buatan Eny sudah terjual hingga wilayah Jabodetabek, bahkan ke Taiwan dan Hongkong.
Ketika ditanya berapa omzet per bulan, Eny enggan menyebut. Namun dalam sebulan ia biasanya memproduksi hingga 20 KG keripik pare.
Dan ia menambahkan, selama setahun pandemi Covid-19, penjualan keripik parenya tidak terpengaruh. Bahkan Eny mengaku selama pandemi keripik parenya justru banyak dicari. "Alhamdulillah saat pandemi penjualannya malah ramai," imbuhnya. ***