Citizen Reporter

Berbagi untuk Anak-anak Spesial

Yayasan Bhakti Luhur telah berkembang dan menjadi salah satu yayasan sosial bagi penderita cacat yang terbesar di seluruh Indonesia.

Editor: Cak Sur
Istimewa
Yayasan Bhakti Luhur 

SURYA.CO.ID, KEDIRI - Kepedulian akan disabilitas sudah dimulai oleh Pastor Paulus Hendricus Janssen CM yang biasa disapa Romo Jansen. Kepedulian itu dimulai di Kediri pada 1950-an. Ia merawat anak-anak yang miskin, disabilitas, dan anak telantar.

Pada 1959 Romo Jansen lebih intensif merawat mereka di Madiun dan berdirilah Yayasan Bhakti Luhur.

Sayangnya, kebutuhan akan tenaga profesional yang mendesak sulit dipenuhi di Madiun. Yayasan Bhakti Luhur pun pindah ke Malang setelah 16 tahun di Madiun.

Ketika Romo Jansen meninggal, yayasan itu tetap berjalan hingga sekarang. Hari demi hari, anak-anak yang dibina semakin bertambah.

Konsep mereka yang disabilitas harus tinggal di dalam masyarakat, telah mengantarkan pada suatu bentuk implementasi berupa rumah-rumah (wisma-wisma) untuk mereka di tengah masyarakat.

Karenanya, asrama/wisma tetap diperlukan sebagai media edukasi dan penyadaran bagi masyarakat secara konkret. Hidup ini harus memiliki empati dalam kasih untuk lebih mencintai dan memeluk anak-anak itu dengan cinta.

Beralamatkan Jalan Dieng 40, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Kantor Pusat Yayasan Bhakti Luhur berdiri. Suster Mery ALMA dan Suster Siska ALMA mengatakan Yayasan Bhakti Luhur telah berkembang dan menjadi salah satu yayasan sosial bagi penderita cacat yang terbesar di seluruh Indonesia.

“Ada 400 wisma di berbagai daerah dengan lebih dari 2.000 anak. Ada sekitar 700 perawat yang tinggal bersama anak-anak itu di 15 provinsi di Indonesia dengan 40 pusat rehabilitasi masyarakat (puremas),” kata Mery, Rabu (3/2/2021).

Supaya keuangan tetap stabil, mereka menjual madu yang diproduksi di Kalibago. Siska menunjukkan tempat pengolahan madu di Kalibago. Mereka membuka diri kepada siapa pun yang akan membeli madu di sana.

“Itu sekaligus untuk bertemu dengan para peternak madu sekaligus memberi asupan gizi yang cukup untuk anak-anak yang dirawat,” kata Siska.

Madu yang dijual adalah madu lebah kopi, madu lebah randu, madu lebah klengkeng, dan hasil karya tangan dari anak-anak panti. Madu-madu itu dijual dengan harga per botol Rp 100 ribu.

Ketika pandemi membuat banyak orang kehilangan akses mendapatkan penghasilan, terlebih mereka yang bekerja di wilayah sosial. Siska dan Mery dengan sabar melayani pembeli madu Kalibago di kantor pusat itu.

Kepedulian masyarakat pada mereka yang berkarya di bidang sosial membuat anak-anak yang diasuh juga bahagia. Anak-anak yang sebagian tidak berdaya untuk merawat dirinya sendiri itu membutuhkan bantuan.

Di yayasan itu ada layanan untuk umum meliputi terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara, terapi integrasi sensori, terapi anak tunagrahita, terapi dan latihan tunanetra-low vision, terapi tunaganda, terapi anak autis, serta terapi dan latihan anak cerebral palsy.

Menurut salah satu suster ALMA, Martina Jemumu, mereka membuka sekolah-sekolah SLB (A, B, C, C1 dan autis), SD integrasi, SMP integrasi, SMK/SMPS, dan STPS. Pendidikan menjadi salah satu fokus untuk meningkatkan kehidupan anak-anak berkebutuhan spesial itu.

Renny Bengu
Dosen STT Injili Efrata Sidoarjo dan STT Sabda Agung Surabaya
rennybengu4@gmail.com

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved