Plato bilang “Jangan menulis!”
Menurut filsuf Plato, dengan menulis orang-orang akan berhenti untuk melatih ingatan mereka.
Plato pernah menulis sebuah dialog imajinatif berjudul “Phaedrus” yang berisi obrolan antara gurunya, Socrates, dengan kawannya, Phaedrus.
Awalnya keduanya membicarakan tentang Cinta namun berakhir dengan saling mendebat bagaimana cara paling baik dalam menyampaikan sebuah pidato. Dari banyak hal yang dibicarakan oleh keduanya, apa yang paling mengusik pikiran Plato di dalam masyarakat Yunani kuno adalah “menulis”.
Menurutnya, dengan menulis orang-orang akan berhenti untuk melatih ingatan mereka. Orang-orang akan lebih bergantung pada tulisan daripada harus mengingat-mengingat hal-hal yang seharusnya mereka pikirkan. Proses memanggil ingatan tidak lagi berada dalam pikiran mereka, namun berada di luar diri mereka yaitu mengandalkan tanda-tanda eksternal berupa tulisan tersebut. Ingatan menjadi tidak lagi terlatih.
Apa yang Plato khawatirkan adalah ketika seseorang menuliskan sesuatu, akan ada orang-orang lain yang tidak bertanggung jawab yang akan menggunakan tulisan itu di luar konteks yang seharusnya.
Mungkin bagi sebagian orang yang baru saja membaca ini akan merasa tidak setuju. Namun coba bayangkan ketika anda pernah menulis sesuatu yang tidak baik di akun media sosial anda, sebut saja twitter. Kemudian ada orang yang tidak menyukai anda, melakukan tangkapan layar terhadap tulisan tersebut dan memposting ulang tulisan anda dengan konteks yang berbeda. Apalagi jika tulisan tersebut digunakan untuk menjatuhkan anda.
Pada era Plato, informasi dibagi dari mulut ke mulut, bukan melalui tulisan. Manuskrip tertulis masih minim dan belum aksesibel bagi banyak orang seperti saat ini. Namun Plato telah memiliki kekhawatiran terhadap informasi berbentuk tulisan. Baginya, informasi yang penting tidak seharusnya ditulis karena akan rawan disalah-gunakan.
Kembali pada era saat ini, di mana informasi menjadi omnipresent dan aksesibel bagi banyak orang. Perlu diketahui bahwa internet didesain bukan agar informasi dapat terdistribusi secara aman, namun internet dirancang agar informasi dapat disebar secara bebas dan cepat (Galbreath, 1997).
Jika saja setiap pengguna internet menyadari bahwa mereka memiliki pengaruh dari setiap apa yang mereka produksi, dalam hal ini tentu saja konteksnya adalah informasi, maka mereka akan lebih berhati-hati dalam memproduksi sebuah pesan di dalam media.
Media dibuat oleh orang-orang tertentu dengan tujuan tertentu. Ini tidak terbatas pada individu namun juga pada organisasi tertentu. Kita seringkali merasa skeptis dengan informasi-informasi di kanal berita tertentu karena afiliasi politiknya. Jika kita berpikir demikian maka seharusnya kita juga paham, bahwa orang lain juga akan memperlakukan pesan yang kita buat secara sama.
Misalnya anda membuat pesan di IG-story mengenai opini anda terhadap demo mahasiswa dan buruh menyoal omnibus law, anda pasti memiliki intensi tertentu. Mungkin anda ingin agar pengikut anda tahu bahwa anda setuju atau tidak setuju, atau anda hanya benar-benar mencoba menyuarakan pandangan anda saja. Bisa jadi ada alasan lain, namun anda memang memiliki intensi sebagai pembuat pesan. Anda ingin pesan anda dilihat dan dibaca pengikut anda.
Setiap orang bertanggung jawab dengan setiap apa yang telah dibagi di akun media sosialnya. Sebelum memposting sesuatu, harus disadari bahwa postingan tersebut akan dilihat oleh para pengikut. Mereka akan mengkonsumsi media yang anda produksi. Bisa jadi karena value anda dan pengikut anda sama, maka mereka akan menyampaikan persetujuan dengan like dan komentar positif. Namun hal ini akan berbeda jika value anda berbeda dengan pengikut anda. Seringkali ketidaksamaan value ini menimbulkan ketidaksukaan dan bisa berujung pada cyber-bullying. Postingan-postingan anda bisa jadi akan digunakan untuk menyerang anda di kemudian hari.
Komunikasi yang terbangun di dalam dunia digital memang lebih independen dan bebas karena tidak ada keharusan hadirnya tubuh secara fiisik. Hal ini menyebabkan identitas di dalam dunia digital menjadi lebih cair. Sehingga setiap orang bisa menjadi siapapun, bebas dari ikatan gender, ras dan usia. Menjadi versi terbaik ataupun terburuk, bahkan kita bisa memilih menjadi orang lain yang sama sekali berbeda dari diri kita di dunia nyata.
Bersembunyi di balik akun alter atau anonimitas, orang-orang di dalam cyber-space seringkali lebih jujur dan beringas ketika menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap sesuatu. Kita akan dengan mudah menemukan akun-akun anonim di twitter mengejek sesama pengguna bahkan untuk hal remeh seperti “seorang dokter yang menyanyi dengan menutup gigi”.
Tulisan tersebut tentu saja dapat melukai orang lain. Yang tidak disadari orang-orang adalah bahwa tulisan tersebut menjadi jejak digital yang bisa ditelusuri. Walaupun interaksi terbangun dengan lebih objektif, namun bukan berarti kita bisa menuliskan hal-hal tidak baik dan bersembunyi di balik identitas bentukan kita tersebut.