6 Pasal UU Cipta Kerja yang Menunai Protes, Termasuk Memberi Kemudahan Tenaga Kerja Asing
Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam
SURYA.co.id I JAKARTA - Tekanan buruh lewat demonstrasi tak membuat membuat DPR surut. Wakil Rakyat di Senayan ini tetap mengetok Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU pada rapat paripurnai, Senin (5/10/2020).
Tercatat, hanya fraksi PKS dan Partai Demokrat yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja.
Berikut sejumlah poin mnibus Law Cipta Kerja yang diprotes kalangan buruh
1. Penghapusan upah minimum
Uah minimum kota/kabupaten (UMK) dihapus dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP).
Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah. Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.
Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
2. Jam lembur lebih lama
Pada omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
3. Kontrak seumur hidup dan rentan PHK
UU Cipta Kerja Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.
Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan.
Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi.
Bahkan, pengusaha diniali bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.
4. Pemotongan waktu istirahat
Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
5. Menghapus cuti panjang 2 bulan
Dalam 79 ayat 5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.
6. Mempermudah perekrutan TKA
Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja.
Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.