Pilkada Serentak 2020
Tuntutan BEM Unair terkait Pilkada Serentak 2020 Disebut Berpotensi Ciptakan Klaster Baru Covid-19
Presiden Mahasiswa Unair Agung Tri Putra mengatakan bersama mahasiswa telah mempertimbangkan aspek keselamatan dalam Pilkada serentak selama pandemi.
Penulis: Zainal Arif | Editor: Parmin
SURYA.co.id | SURABAYA - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah pandemi menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga Surabaya (Unair) melihat Pilkada sebagai tempat berpotensi mengancam keselamatan warga negara, terlebih jika belum ada kemungkinan pandemi segera berakhir.
Namun, di sisi lain proses Pilkada tetap penting dilaksanakan guna memastikan agar kehidupan sosial-politik di 270 daerah di Indonesia dapat berjalan lebih baik.
Presiden Mahasiswa Unair 2019-2020, Agung Tri Putra mengatakan bersama mahasiswa telah mempertimbangkan aspek keselamatan dalam pelaksanaan Pilkada serentak selama masa pandemi.
"Per tanggal (20/9/2020) tercatat ada 244.676 orang di Indonesia yang terinfeksi Covid-19, tingkat persebaran Covid-19 di Indonesia juga sudah merata di seluruh provinsi dan disinyalir akan terus bertambah," kata Agung, Senin (21/9/2020).
Bahkan jika diakumulasikan presentase mortality rate akibat Covid-19 di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan rerata mortality rate global.
Fakta ini justru menunjukan bahwa pemerintah pusat dan daerah belum mampu untuk mengendalikan laju persebaran Covid-19 dengan baik.
"Jika angka ini terus bertambah dan menunjukkan tren kenaikan yang kian mengkhawatirkan, justru pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini berpotensi menciptakan kluster baru Covid-19, terlebih setelah diketahui terdapat beberapa calon Kepala Daerah dan Komisioner KPU terinfeksi Covid-19," ujarnya.
Sedang Menko Pergerakan BEM Unair, Muhammad Abdul Chaq mengungkapkan adanya instrumen hukum yang bermasalah dalam pelaksanaan Pilkada serentak selama pandemi.
Menurutnya di tengah pandemi, Pilkada hanya dapat dilaksanakan jika pemerintah mempunyai produk hukum yang tegas dan solutif.
Di samping untuk memastikan pesta demokrasi lima tahunan tersebut dapat berjalan lancar, tentu untuk menjamin keselamatan segenap warga negara di masa pandemi.
"Diterbitkannya Perpu No.2 Tahun 2020 yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 6 Tahun 2020 pada dasarnya diharapkan agar dapat memecah kebuntuan atas dua permasalahan kelancaran dan keselamatan," katanya.
Bahkan baru-baru ini KPU telah mengeluarkan PKPU No. 6 Tahun 2020 yang kemudian direvisi menjadi PKPU No. 10 Tahun 2020 sebagai tata cara dan aturan mengenai pelaksanaan Pilkada di masa pandemi.
"Namun kami menilai di dalam produk-produk hukum tersebut masih terdapat sejumlah pasal bermasalah dan membuka peluang dilakukannya pelanggaran atas protokol kesehatan Covid-19, seperti di dalam pasal 11
PKPU No. 6 Tahun 2020 dan pasal 63 PKPU No. 10 Tahun 2020," ujarnya.
"Atas dasar penilaian tersebut, juga merujuk pada pasal 122A UU No. 6 Tahun 2020, sebetulnya Indonesia masih memiliki peluang untuk mempertimbangkan ulang pelaksanaan Pilkada serentak di tahun ini sembari menyiapkan instrumen hukum yang lebih baik," imbuhnya.
Melihat kurangnya komitmen untuk mematuhi protokol kesehatan pada saat Pilkada sejauh ini.
Menjadi salah satu perhatian BEM Unair terutama saat tahapan Pilkada yang telah dilalui dinilai masih belum terlihat adanya keseriusan dari pihak-pihak terkait untuk mematuhi protokol Covid-19.
"Pada masa pendaftaran Bapaslon hingga 6 September lalu. Berdasarkan catatan Bawaslu, selama masa pendaftaran Bapaslon (4-6 September 2020), terdapat 243 pelanggaran terhadap protokol kesehatan oleh para bakal calon di sejumlah daerah," ujarnya.
Berbagai pelanggaran dilakukan seperti adanya kandidat yang positif Covid-19 saat mendaftar, terciptanya kerumunan arak-arakan pendukung, tidak menjaga jarak dan tidak melampirkan hasil swab saat mendaftar.
"Seharusnya Bapaslon harus memberikan contoh yang baik terhadap para pendukung dan calon pemilihnya," ungkapnya.
Terkait hal tersebut BEM Unair menuntut kepada Pemerintah Pusat, KPU, dan DPR untuk Menunda Pilkada Serentak, jika:
- Pemerintah pusat masih belum mampu mengendalikan laju kenaikan infeksi Covid-19
di Indonesia.
- KPU dan DPR masih belum memperbaiki pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengakibatkan adanya kerancuan dalam pelaksanaan Pilkada serta berimbas pada peningkatan angka kasus positif Covid-19 di Indonesia.
- Belum adanya itikad baik dan serius dari seluruh pihak, khususnya para Bapaslon beserta Partai Politik pendukung untuk mematuhi seluruh protokol Covid-19 secara konsisten.
"Apabila tuntutan kami tidak diindahkan oleh pihak-pihak terkait maka kami akan melakukan aksi massa dengan tuntutan yang sama ke kantor KPU," tegas Chaq.
Mereka bahkan berencana membentuk relawan independen di luar KPU dan Bawaslu serta mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengawasi pelaksanaan Pilkada serentak.