Berita Blitar
Olah Sendiri Kopi Robusta, Petani di Blitar Kuasai Jawa Sampai Bali
Tetapi di dusun jauh itulah, Imam menapaki kebangkitannya dari semula buruh kebun kopi menjadi pengusaha kopi dengan penghasilan Rp 4 juta per hari.
Penulis: Imam Taufiq | Editor: Deddy Humana
Menjadi buruh tani di perkebunan kopi di pelosok Kabupaten Blitar, membuat Imam Ghozali (34) bosan. Tekadnya merubah nasib begitu besar, sehingga ia nekat mengolah sendiri kopi hasil panen dan memasarkannya. Kerja kerasnya berbuah, Imam kini menjadi pengusaha kopi robusta.
Kalau menemukan kemasan kopi robusta murni bermerek 'Takasih', bisa dipastikan itu adalah merek milik Imam Ghozali, buah home industry dari Dusun Klakah, Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar.
Dari dusun terpencil itulah, Imam merajut asa dari kopi. Dusun itu berada di ujung Kecamatan Doko, yang berbatasan dengan lereng Gunung Kawi, di wilayah Kabupaten Malang. Sangat terpencil, dengan akses jalan nyaris hancur dan belasan kilometer tanpa lampu penerangan.
Tetapi di dusun yang jauh itulah, Imam menapaki kebangkitannya dari semula buruh kebun kopi menjadi pengusaha kopi dengan penghasilan sekitar Rp 4 juta per hari.
Setidaknya ada dua hal yang membuat Imam menerjuni bisnis kopi. Pertama, tidak mau menjadi permainan tengkulak dalam harga jual kopi, apalagi ia waktu itu hanya buruh tani.
Kedua, Imam melihat bahwa celah bisnis dari perkopian tidak pernah tertutup. Kebiasaan orang Indonesia ngopi, bukan lagi menjadi pembunuh waktu tetapi kebutuhan. Selalu ada ide dari secangkir kopi.
Akhirnya terbukti. Kopi dari hasil lahannya seluas 1,5 hektare (Ha) bisa mengubah nasib hidup keluarganya. Itu setelah Imam mengolah kopi bubuk sendiri di rumahnya, dengan hasil sekitar 1 kuintal per hari dan nilainya Rp 6 juta.
Itu belum terpotong biaya apapun, seperti transportasi, kecuali biaya produksi saja. Halaman rumahnya sekitar 400 meter per segi setiap hari dipakai menjemur kopi yang baru dipanen. Sebab sebelum digoreng, kopi harus benar-benar kering supaya cita rasanya kuat dan aromanya menggoda.
"Kopi harus dijemur berbulan-bulan, agar benar-benar kering. Ini jenis kopi robusta," tutur Imam sambil mengambil contoh kopi yang sedang dijemur tersebut.
Kopi robusta punya cita rasa yang khas, di antaranya asam, manis dan gurih. Dan menariknya, meski diseduh tanpa gula pun, rasanya sudah enak. Rasa khas, ada manisnya selalu muncul ketika diseduh air panas.
"Ini disukai para pecinta kopi, khususnya orang yang tak bisa tidur sore," tutur suami Dwi Wira Sapitri ini.
Begitu masuk ke dalam rumahnya, terlihat kopi kering siap diolah di dekat mesin giling dan mesin penyangrai kopi (roaster). Itu dibeli baru setahun lalu, setelah beberapa tahun ia menggunakan cara manual.
"Dulu saya mengorengnya dengan tungku. Namun karena permintaan kian banyak, kami beli alatnya karena setiap 12 menit sekali, kami harus menghasilkan 2 KG kopi yang sudah digoreng," tutur pria yang penampilannya cukup sederhana.
Karena itu saat ini ia mampu melayani permintaan kopi bubuk 2 sampai 3 kuintal per hari. Ditambah ia sudah memiliki empat karyawan yang semuanya perempuan. Tugasnya adalah menjemur dan mengepak kopi yang siap dipasarkan. Imam sendiri khusus bagian penggorengan.
"Pelanggan kami kebanyakan dari Bali, Surabaya, Gresik, Jogyakarta, Kalimantan. Semuanya adalah pemilik kafe atau kedai kopi. Untuk kedai kopi di Kota Blitar dan sekitarnya, hampir setiap hari kami suplai," paparnya yang mengaku pendapatan berkisar antara Rp 4 juta sampai Rp 6 juta per hari.
Sekarang Imam bisa menguasai banyak kota di Jawa dan menembus Bali. Padahal tiga tahun lalu, ia mengaku hampir putus asa selama berkeliling memasarkan kopinya. "Saya tawarkan ke kedai kopi, warung kopi, namun tak ada merespon," ungkapnya.
Dan puncak kesuksesannya memasarkan kopinya adalah ketika menerjuni media sosial (medsos). Dengan cepat permintaan membanjir dari berbagai kota. "Dari hasil berjualan kopi ini, kami belikan tegalan lag, buat memperluas lahan kopi," paparnya.
Ia nekat memproduksi kopi karena punya keyakinan bahwa ke depan, usaha kopi ini punya prospek bagus. "Dari usaha ini, kami bisa menampung kopi hasil panen tetangga. Sebab dulu hanya terjual murah dan kini kami beli Rp 5.000 per KG harga tegalan, yang masih basah," paparnya. ***